Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal DPP PPP Arsul Sani menilai menaikkan ambang batas parlemen (PT) justru membuka peluang membenarkan kekhawatiran banyak elemen masyarakat sipil bahwa demokrasi Indonesia akan diwarnai dengan oligarki partai politik tertentu yang kuat secara finansial dan ekonomi.
"Alih-alih akan menguatkan demokrasi dan sistem presidensial, PPP melihat kenaikan PT justru membuka peluang membenarkan kekhawatiran banyak elemen masyarakat sipil bahwa demokrasi kita akan diwarnai oligarki partai politik tertentu yang kuat secara finansial dan ekonomi," kata Arsul di Jakarta, Senin.
Padahal menurut dia, di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa kasus-kasus korupsi di sektor politik dan pemerintahan masih tinggi yang melibatkan partai politik.
Baca juga: Munculkan kekuatan efektif di parlemen, F-Golkar usulkan PT 7 persen
Baca juga: F-NasDem: Terbuka dialog usulan ambang batas parlemen
Baca juga: Wakil rakyat: Proporsional terbuka hindari oligarki partai
Arsul meminta agar PT 4 persen tidak perlu dinaikkan dan partainya tidak sependapat dengan pandangan bahwa kenaikan PT akan menguatkan konsolidasi demokrasi dan sistem presidensial yang kita anut.
Wakil Ketua MPR RI itu menilai kenaikan ambang batas parlemen apalagi jika langsung loncat kenaikannya dari 4 persen menjadi 7 persen akan mengorbankan lebih banyak lagi suara rakyat yang terbuang karena tidak terwakili di DPR RI akibat partainya tidak lolos PT.
"Dengan PT 4 persen saja, jumlah suara yang terbuang lebih dari 13,5 juta. Artinya kalo pembentuk UU dalam hal ini suara mayoritas di DPR dan Pemerintah menaikkan PT, maka akan makin banyak suara terbuang atau tidak terwakili tersebut," katanya.
Bahkan menurut dia, bisa jadi suara yang terbuang kalau dengan PT 7 persen dan peserta Pemilu bertambah maka jumlah suara terbuang akan lebih besar dari partai pemenang Pemilu Legislatif (Pileg).
Selain itu Arsul menjelaskan, PPP berpandangan bahwa PT cukup diberlakukan saja secara nasional sehingga tidak perlu untuk DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
"Untuk apa pula diterapkan sampai dengan tingkat daerah. Karena dalam sistem pemerintahan daerah yang kita anut, DPRD itu bukan parlemen daerah seperti yang ada di negara-negara federal," ujarnya.
Dia menjelaskan, DPRD dalam sistem yang dianut Indonesia merupakan bagian dari pemerintah daerah, karena UU Pemda menyatakan bahwa pemerintah daerah itu terdiri dari kepala daerah dan DPRD.
Menurut dia apalagi sudah ada pembatasan dalam pembentukan fraksi-fraksi di DPRD sehingga partai yang kursinya kurang dari syarat minimal untuk membentuk fraksi, harus bergabung dengan fraksi dari partai lain.
Karena itu dia menilai dengan demikian konsolidasi pada jalannya pemerintahan level daerah, sebenarnya sudah terjadi.
Baca juga: F-PPP: Negara harus lindungi pekerja ketika terapkan normal baru
Baca juga: Anggota DPR: TAP MPRS XXV/1966 penting jadi konsideran RUU HIP
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020