Rancangan Perpres ini terlalu melampaui tugas pokok TNI, sehingga harus direvisi

Jakarta (ANTARA) - Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Malik Ferry Kusuma meminta pemerintah agar merevisi Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) TNI dalam menangani terorisme karena akan memberikan peran yang luas bagi TNI.

"Rancangan Perpres ini terlalu melampaui tugas pokok TNI, sehingga harus direvisi," kata Ferry, di Jakarta, Senin.

Ia memandang bahwa Perpres pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme bertentangan dengan aturan hukum dan berimplikasi rusaknya sistem peradilan pidana di Indonesia, mengingat TNI tidak tunduk pada peradilan umum.

Selain itu, Ferry juga mengkritisi rancangan perpres tersebut karena tidak mengatur kapan, dimana, dan dalam waktu apa serta kondisi seperti apa TNI dilibatkan dalam penanganan terorisme.

"Kalau melihat dari pengalaman, negara kita ini belum ada situasi yang mendesak melibatkan TNI dalam penanganan terorisme," ucapnya.

Dia menjelaskan, ada dua model pelibatan TNI. Model pertama militer penuh, seperti Amerika terhadap Afganistan dan Osama Bin Laden. Sedang model kedua sifatnya perbantuan dan model ini dianggap paling tepat bagi Indonesia, perbantuan TNI terhadap Polri.

Ferry menekankan bahwa tugas-tugas TNI sesuai tertuang dalam rancangan Perpres tersebut justru tumpang tindih dengan institusi lain, baik itu Polri maupun Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Baca juga: Mahasiswa Timor Leste belajar tentang konflik dan perdamaian Aceh

Dia pun sepakat terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan merupakan kejahatan luar biasa.

Tetapi, pola pendekatan dilakukan dalam penanganannya jangan sampai aparat negara menggunakan cara berimplikasi pada pelanggaran hukum, pelanggaran hak asasi manusia.

"Di sini poin penting kita untuk mengingatkan rancangan perpres ini tidak tepat. Itu merusak sektor reformasi keamanan, khususnya TNI," ucap Ferry.

Ferry pun meminta agar parlemen meminta pemerintah merevisi Perpres tersebut pasal demi pasal yang kewenangan terlalu jauh melebihi tugas pokok TNI sebagaimana diatur dalam UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI, salah satunya mengenai prosedur operasional pelibatan TNI dalam penanganan terorisme.

"Waktunya belum tepat (perpres), dan, misal, ada situasi sangat mendesak lewat kebijakan politik, presiden bisa berkonsultasi dengan DPR, itu bisa dikerahkan TNI dalam penanganan terorisme. Masalahnya dalam perpres ini tidak ada lagi koordinasi, Panglima bisa mengerahkan pasukan. Kalau pun ada koordinasi hanya konsultasi dengan presiden," tutur Malik Ferry Kusuma.

Baca juga: KontraS: 1.056 kasus pembatasan berkumpul terjadi pada 2015-2018

Sementara itu, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mendorong agar pemerintah dan DPR membahas rancangan Undang-Undang Perbantuan TNI dibandingkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam menangani terorisme.

Direktur Riset ELSAM, Wahyudi Djafar, mengatakan, UU Perbantuan TNI akan memberikan batas yang jelas dalam operasi militer selain perang (OMSP), seperti menangani terorisme.

"Dengan begitu (UU Perbantuan), lebih jelas pelibatan TNI baik itu dalam penanganan terorisme, atau sekarang dalam geliat penanganan COVID-19. Belum ada UU tugas perbantuan atau rule TNI dalam urusan berbagai macam hal OMSP," tuturnya.

Menurut dia, dalam Perpres itu kewenangan TNI dalam pelibatan menangani aksi terorisme terlalu luas dan terkesan melampaui Undang-undang yang ada diatasnya.

"Saran saya draf ini diperiksa kembali dalam aspek civil power, tetapi harus dalam konteks perbantuan saja. Jadi, menurut saya ditarik kembali, dibahas ulang, didorong UU Perbantuan," ujarnya.

Baca juga: KontraS nilai hukuman mati di Indonesia sudah tidak relevan

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020