"Saatnya Makassar mendirikan Rumah Sakit Darurat COVID. Tujuannya, menjadikan kompleks rumah sakit tersebut sebagai wilayah karantina. Jadi, tidak dibutuhkan ruang isolasi, tetapi seluruh kompleks diisolasi," ujar Yurianto saat dikonfirmasi wartawan, Minggu.
Baca juga: Pasien COVID-19 di Sulsel bertambah 64 menjadi 1.840 kasus
Baca juga: Presiden beri perhatian khusus kasus COVID-19 di Jatim, Sulsel, Kalsel
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2P) Kementerian Kesehatan ini memberi saran, misalnya, ada salah satu tempat bisa dijadikan wilayah karantina. "Bisa menggunakan asrama haji," kata lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, Jawa Timur itu.
Ia menyarankan sebaiknya pasien yang dirawat dibagi menjadi dua bagian secara terpisah. Bila kasus positif hasil tes dari Polymerase Chain Reaction (PCR) berada satu tempat dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang belum di tes PCR ditempat terpisah.
"Jika PDP hasil PCR negatif segera pindahkan ke RS lain. Jika positif dipindahkan ke bagian positif. Kasus PCR positif di Rumah Sakit lain yang gejalanya sedang, ringan dipindahkan semua ke Rumah Sakit Darurat," ujarnya.
Untuk pendirian Rumah Sakit Darurat, kata dia, SDM-nya dalam hal ini personel dari TNI dan Polri serta relawan yang sesuai bidangnya. "Manajemen bisa meniru Rumah Sakit Darurat COVID Wisma Atlet Jakarta. Operasional dari dana DSP Gugus Tugas Pusat. Ini pembelajaran, Jakarta di awal Mei dan Surabaya pada pekan lalu," kata Yuri.
Baca juga: Sulsel optimistis daerah pertama deklarasi bebas COVID-19
Ia mengemukakan ketersediaan ruang isolasi rumah sakit rujukan akan menyebabkan pasien COVID positif atau PDP terpaksa di rawat di luar ruangan isolasi atau tidak dirawat karena ruangan sudah penuh.
"Ini bisa menjadi sumber penularan yang tidak bisa dikendalikan. Disamping beban rawatan yang sangat tinggi, akan meningkatkan risiko penularan ke petugas kesehatan karena kelelahan," tambahnya.
Mengenai akurasi pemeriksaan hasil COVID-19, katanya, diagnosa adalah pemeriksaan antigen dengan PCR. Sementara untuk rapid test hanya mengetahui apakah ada respons antibodi yang timbul akibat adanya antigen virus tersebut.
"Rapid negatif artinya ada dua, bisa saja belum terinfeksi atau terinfeksi tetapi antibodi belum terbentuk (infeksi kurang dari 7 hari). Hasil positif bisa diartikan ada infeksi (IgM) atau sudah pernah terinfeksi (IgG) atau positif palsu karena infeksi DBD," beber Yurianto.
"Tidak ada jaminan bebas COVID untuk hasil rapid test maupun PCR negatif. Yang pasti belum terinfeksi, bisa saja setelah itu terinfeksi," tambahnya.
Baca juga: RS Lapangan Surabaya rawat 14 pasien COVID-19 kategori ringan
Baca juga: 500 pasien bisa ditampung di RS Lapangan COVID-19 Surabaya
Sementara tim Satgas COVID-19, IDI wilayah Sulselbar sekaligus penggagas Rumah Sakit Darurat Sayang Bunda, Hisbullah mengemukakan pihaknya telah membuka layanan pemeriksaan rapid test gratis sejak dua bulan lalu di Rumkit Sayang Bunda Makassar.
Rumah sakit ini, kata dia, khusus merawat pasien COVID, sudah melakukan screening prahospital lebih 1.000 orang. Saat ini RSDC Makassar mengembangkan diri dengan membuka kawasan karantina terpadu di kompleks RS-Hotel Wisata Universitas Indonesia Timur.
"Seluruh operasional dilaksanakan oleh relawan tidak menggunakan anggaran dan fasilitas negara. Jika ada pasien positif, OTG atau PDP positif, silahkan hubungi kami. Karantina, satu orang per kamar, ini gratis," ungkap pria yang berprofesi dokter itu.
Pewarta: M Darwin Fatir
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020