Dili, Timor Timur (ANTARA News) - Proses deportasi Maternus Bere (53), WNI asal Kabupaten Belu, NTT, yang sempat ditahan Polisi PBB di Timor Timur karena dianggap terlibat aksi pelanggaran HAM pada 1999, masih memerlukan waktu karena terkait kepentingan banyak pihak.

"Yang bersangkutan adalah pemegang paspor sah Indonesia sehingga posisi dan kewajiban KBRI di Dili adalah memberi perlindungan pada WNI," kata Kepala Fungsi Politik Kedutaan Besar Indonesia di Dili, Timor Timur, Victor J Sambuaga, kepada ANTARA News, Selasa petang.

Bere, berdasarkan data yang dimiliki Unit Kriminal Serius PBB, dicurigai terlibat dalam pelanggaran berat HAM di (bekas) Kabupaten Suai, pada 6 September 1999. Peristiwa itu dikenang sebagai Peristiwa Suai, yang menewaskan puluhan orang setempat dan tiga biarawan Katolik.

Bere diketahui baru pertama kali kembali masuk ke bekas lingkungan lamanya di Distrik Kovalima melalui Pintu Lintas Batas Metamauk, Kabupaten Belu, NTT, pada 5 Agustus lalu.

Pada 9 Agustus, dia didatangi dua petugas Polisi PBB (UNPOL) di rumahnya dan diajak ke kantor unit kepolisian itu dengan alasan untuk melindungi dia dari serbuan sejumlah pemuda yang masih mengingat dia hingga kini.

Sejak tanggal itulah dia mendekam di rumah tahanan Kaikoli, Dili, untuk kemudian dipindahkan ke Penjara Bekora, juga di Dili, dua hari kemudian. Paspornya kemudian disita oleh UNPOL dengan alasan demi kepentingan penyidikan hingga kini.

Segera setelah ditahan di Penjara Bekora, melalui anak lelakinya yang kuliah di satu universitas di Yogyakarta, pihak KBRI di Dili mengetahui keberadaan dan status tahanan dia di Penjara Bekora.

Berbagai upaya diplomasi dari berbagai aspek, di antaranya dari sisi kekonsuleran, dijalankan pihak KBRI di Dili sejak itu.

Setelah melalui berbagai proses, akhirnya Bere bisa diserahkan kepada pihak Indonesia pada 30 Agustus, hanya beberapa puluh menit sebelum kedatangan Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda, di tengah jajaran tamu kehormatan Presiden Timor Timur, Jose Ramos Horta, di Istana Kepresidenan negara itu, di Dili.

Wirajuda, bersama dengan Gubernur Jenderal Australia, Quentine Brice, dan bekas Menteri Luar Negeri Portugal, Jaime Gama, dan Perdana Menteri Timor Timur, Xanana Gusmao, duduk di jajaran kehormatan upacara peringatan 10 Tahun Referendum negara itu.

Bere, saat ditemui di Dili, beberapa waktu lalu, menyatakan,: "Semua kerabat di Suai malahan bertangis-tangisan dengan saya waktu itu. Semuanya sadar, tidak ada gunanya lagi memelihara dendam. Apalagi sudah ada rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan bagi kedua negara."

Jika di kawasan perbatasan Indonesia dan Timor Timur suasananya aman-aman saja, maka kasus Bere ini kemudian mengundang perhatian PBB yang keberatan dengan penyerahan dia kepada pihak Indonesia.

Di dalam hasil Rekomendasi KKP itu, ditekankan komitmen besar kedua pemerintahan dan kepala negara bahwa berbagai permasalahan yang terjadi sebagai akibat hasil jajak pendapat yang mengarah pada pendirian negara Timor Timur disepakati untuk diselesaikan oleh kedua negara.

Dengan demikian, keterlibatan pihak ketiga, baik itu negara, institusi, atau badan internasional dan PBB, tidak dimungkinkan berdasarkan hasil Rekomendasi KKP yang telah diberikan kepada Presiden Susilo B Yudhoyono dan Presiden Horta, di Bali.(*)

Pewarta:
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2009