Kupang (ANTARA) - Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Yohanis Fransiskus Lema mengatakan, selama periode COVID-19, limbah infeksius akibat COVID-19 diperkirakan meningkat 30 persen.
"Jumlah pasien penderita COVID-19 telah mencapai lebih 25.000 orang. Fakta ini paralel dengan peningkatan limbah medis B3. Selama periode COVID-19, limbah infeksius akibat Covid-19 diperkirakan meningkat 30 persen," kata Yohanis Fransiskus Lema pada sosialisasi penanganan dan pengolahan limbah B3 infeksius COVID-19 di Provinsi NTT, Sabtu.
Kegiatan sosialisasi ini bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Menurut dia, kondisi peningkatan limbah medis B3 perlu diwaspadai, sehingga tidak menularkan COVID-19.
KLHK mencatat, hingga saat ini hanya 100 rumah sakit yang memiliki insinerator, dan 14 perusahaan jasa pengelola limbah B3 di Indonesia.
Komisi IV menilai, persoalan limbah B3 tidak hanya penumpukan limbah medis yang berdampak pada pencemaran lingkungan dan berbahaya bagi kehidupan manusia.
Indonesia juga mengalami persoalan impor sampah dari luar negeri yang tercampur limbah B3.
Sampai saat ini, Indonesia telah melakukan reekspor 431 kontainer limbah yang tercampur sampah dan terkontaminasi B3 ke negara asalnya seperti Amerika Serikat, Jerman dan Inggris.
"Komisi IV DPR RI mendesak percepatan izin insinerator, menggunakan insinerator RS yang sedang dalam proses perizinan, mendesak pengoptimalan pengolahan limbah oleh jasa pengelola," katanya.
Komisi IV juga mendesak KLHK meningkatkan kerja sama dengan pemerintah daerah untuk membangun tempat pengelolaan limbah, mendorong investasi pengolahan limbah medis, dan melakukan inovasi dalam pengelolaan limbah dalam situasi luar biasa saat ini, kata Yohanis Fransiskus Lema yang biasa disapa Ansy Lema itu.
Sementara itu, Direktur Pemulihan Kontaminasi dan Tanggap Darurat LImbah B3 KLHK Haruki Agustina, menjelaskan, penambahan limbah terjadi saat pandemi karena alat pengaman diri (APD), masker dan sarung tangan juga tergolong B3.
Berdasarkan Permen LHK No.P 56/2015, limbah infeksius COVID-19 harus dipilah agar tidak terkontaminasi dengan jenis limbah lainnya. Selanjutnya limbah harus disimpan dalam wadah yang disediakan khusus (SPS LB3).
"Limbah COVID-19 harus diangkut untuk diolah melalui insinerator, dibakar pada suhu 800 derajat celcius. Perlu diperhatikan bahwa pengangkutan melalui angkutan tertutup dan disemprot disinfektan," katanya.
KLHK kini juga mempercepat izin penggunaan insinerator karena sampai saat ini hanya 110 rumah sakit di Indonesia yang memilikinya, jelas Agustina.
Agustina memastikan bahwa KLHK akan memberikan bantuan fasilitas layanan kesehatan untuk Provinsi NTT dari usulan anggota DPR RI Ansy Lema.
Bantuan tersebut berupa drop box limbah B3 fasyankes sebanyak 35 unit, plastik pengumpul sampah B3 fasyankes 7000 lembar, APD petugas pengelola limbah B3 fasyankes 200 paket, serta lima unit kendaraan pendukung penyemprotan disinfektan dan tanki.
Baca juga: Legislator sebut pemerintah di NTT belum serius tangani limbah B3
Baca juga: Titik krusial kerusakan lingkungan disebut Walhi NTT di Pasir Panjang
Baca juga: "Gerakan Kupang Hijau" dideklarasikan untuk pelestarian lingkungan
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020