Surabaya (ANTARA News) - Istri almarhum Munir SH, yakni Suciwati, siap membawa kasus kematian aktivis HAM itu ke Mahkamah Internasional (MI), tapi dirinya menunggu hasil sidang Peninjauan Kembali (PK) terhadap pembebasan Deputi V BIN, Muchdi Pr.
"Kami menunggu hasil sidang PK itu, kalau hasilnya Muchdi tetap bebas, maka kami akan bawa ke Mahkamah International," katanya kepada ANTARA News di sela-sela dalam diskusi di Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Senin.
Ia mengemukakan hal itu di sela-sela diskusi bertajuk "Memperingati Hari Pembela HAM se-Indonesia dan 5 Tahun Meninggalnya Munir SH" yang digelar Forum Studi dan Advokasi Mahasiswa (ForSAM) FH Unair Surabaya.
Didampingi Dekan FH Unair Prof Zaidun SH MSi yang juga mantan rekan Munir SH di LBH Surabaya itu, ia mengaku pesimistis putusan dalam sidang PK Muchdi Pr akan berlangsung secara adil.
"Yang jelas, bila Muchdi Pr tidak jadi bebas, maka saya tidak akan melanjutkan kasus Munir SH ke Mahkamah Internasional, tapi saya akan minta jangan hanya Muchdi Pr yang di penjara, sebab ada tersangka lain seperti Deputi II BIN, Deputi IV BIN, dan lainnya," katanya.
Oleh karena itu, ia mendesak Presiden untuk menunjukkan komitmennya guna menegakkan hukum tanpa "tebang pilih", bahkan Presiden perlu melanjutkan kasus itu untuk mengungkap dalang yang sebenarnya.
"Salah seorang pejabat BIN dalam kesaksiannya mengaku Deputi II dan IV BIN memang ditugasi untuk membunuh Munir, karena itu Presiden harus mencari siapa yang memberi tugas atau perintah membunuh Munir itu," katanya.
Dalam kesempatan itu, Suciwati menduga ada beberapa fakta yang mengaitkan kematian Munir SH pada 7 September 2004 dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2004 tahap pertama.
"Suami saya itu sangat kritis dalam menolak capres militer, kemudian Kepala BIN saat itu, Hendropriyono, merupakan tim sukses capres sipil, tapi dia sebagai militer tidak ingin ada wacana sipil-militer dalam Pilpres 2004," katanya.
Namun, katanya, dirinya memahami kematian suaminya akibat sikap kritis Munir SH selama ini terhadap militer. "Bukan soal capres militer, suami saya sudah lama kritis terhadap militer, tapi bukan pada sosok militer, melainkan manajemen kekerasan yang digunakan militer," katanya.
Senada dengan itu, koordinator Kontras Surabaya, Andy Irfan, selaku pembicara lain dalam diskusi itu menegaskan bahwa beberapa kasus pelanggaran HAM selama ini membuktikan aktor yang paling banyak melanggar HAM adalah militer.
"Hingga kini, militer sendiri belum tersentuh dengan reformasi, karena itu banyak kasus pelanggaran HAM dengan banyak korban, tapi tidak ada pelakunya. Itu aneh tapi ada di Indonesia," katanya. (*)
Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009