Jakarta (ANTARA News) - Sekitar 2.000 karyawan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berunjuk rasa di depan gedung DPR-RI Senayan Jakarta, Senin, menolak diberlakukannya Undang-Undang (UU) Ketenagalistrikan.
Para pengunjuk rasa meliputi pegawai PT PLN dari kantor pusat Jakarta serta dari cabang di sejumlah provinsi di Indonesia, seperti dari Bali dan Aceh. Tampak pula pegawai dari Indonesia Power, yakni anak perusahaan PT PLN. Mereka melakukan orasi secara bergantian di halaman gedung DPR.
Aparat kepolisian terlihat berjaga-jaga di sekitar pengunjuk rasa dan juga di sekeliling kompleks gedung DPR.
Ketua Federasi Serikat Pekerja PT PLN, Ahmad Daryoko mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagalistrikan yang akan disahkan pada rapat paripurna DPR, Selasa (8/9), adalah produk neolib yang tidak berpihak kepada masyarakat.
"Setelah mempelajari RUU Ketenagalistrikan, ternyata substansi isinya masih sama saja dengan UU Ketenagalistrikan sebelumnya yakni UU No 20 tahun 2002 yang tidak berpihak kepada masyarakat," katanya.
Ditegaskannya, setelah RUU Ketenagalistrikan disahkan DPR dan diberlakukan pemerintah menjadi UU, maka pemerintah bisa menjual Pembangkit listrik Jawa Bali (PJB) kepada asing serta menyerahkan Pembangkit Listrik Luar Jawa Bali (PLJB) kepada pemerintah provinsi.
Jika hal ini sampai dilakukan pemerintah, kata dia, maka tarif dasar listrik (TDL) bisa naik sampai lima kali lipat yang tentu akan sangat memberatkan masyarakat.
"Nasib pegawai PT PLN juga tidak jelas, apakah menjadi pegawai swasta atau pegawai perusahaan daerah," katanya.
Dikatakannya, biaya produksi listrik sekitar 2.600 per kilowatt per jam (KwH) tapi dijual kepada masyarakat dengan biaya Rp650 per KwH karena disubsidi oleh pemerintah.
Jika PJB sampai dijual kepada asing, kata dia, maka asing menjual listrik berdasarkan mekanisme pasar yakni di atas biaya produksi.
"Jika asing menjual Rp3.000 per KwH, itu berarti sudah naik lima kali lipat dari tarif listrik saat ini Rp650 per KwH," kata Daryoko.
Dikatakannya, banyak perusahaan asing yang mengincar PJB karena potensi pembangkit dan potensi pasarnya tinggi. Di Jawa Bali hampir 90 persen wilayahnya sudah teraliri listrik dan sebagian konsumennya adalah golongan kelas menengah ke atas.
Sedangkan PLJB jika diserahkan kepada pemerintah provinsi, kata dia, nasibnya akan bervariasi tergantung pada kebijakan pemerintah provinsi yang bersangkutan.
Ia khawatir, PLJB tidak bisa dikelola dengan baik serta ada provinsi yang menaikkan tarif listrik menjadi sangat tinggi.
Ketua Federasi Serikat Pekerja PLN Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, Supiani Bachran membenarkan pernyataan Daryoko.
Ia mengkhawatirkan, nasib pegawai PLN Luar Jawa dan Bali menjadi tidak jelas.
"Kami meminta agar PLN tidak dijual kepada asing dan tidak diserahkan kepada pemerintah daerah, sehingga bisa tetap beroperasi optimal," katanya. (*)
Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009