Jakarta, 7/9 (ANTARA) - Ribuan rumah nelayan di Garut Selatan roboh, penghuninya kini tinggal di tenda darurat halaman sekitar atau lapangan terdekat. Gempa 7,3 skala Richter yang menggoncang pada hari Rabu tgl 2/9 jm 14.55 yl, melanda pemukiman nelayan yang kebanyakan berada di wilayah selatan Kabupaten Garut. Perahu dan alat tangkap tidak ada yang rusak, namun rumah mereka roboh atau rusak berat, sebanyak 5.666 buah, rusak sedang 1.262 buah, dan rusak ringan 4.136 buah. Terdapat pula 46 sekolah rusak, 146 unit rumah ibadah, 6 unit sarana kesehatan, dan 45 unit prasarana di tempat pendaratan ikan, dan lain-lain. Dari keluarga nelayan terdapat 6 orang meninggal karena tertimpa bangunan, 21 orang luka berat dan 42 luka ringan.

Kerusakan yang paling parah adalah di Kecamatan Cikelet, terutama di desa Pamalayan, kampung Kiara Kohok. Ada juga di desa Cijambe dan Cikelet. Adapun di Kecamatan Cibalong, tampak banyak di desa Sagara, kampung Leuwi Pari. Terdapat pula di desa Karyasari, Mekarsari, Sancang, Simpang dan Karyamukti. Adapun kecamatan Pameungpeuk, pemukiman nelayan yang banyak mengalami kerusakan adalah desa Mandalakasih, Sirnabakti, Jatimulya, dan Mancagahar.

Saat ini bantuan mulai mengalir, berupa penyediaan tenda, sembako, selimut, dan air bersih. Bantuan tersebut berasal dari Dinas Sosial setempat, KOREM, Paskhas TNI-AU, Wanadri, Indosat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Sarikat Petani Pasundan (SPP) dan lain-lain. Bantuan mendesak yang dibutuhkan para pengungsi adalah bahan pangan, selimut, dan air bersih--karena banyak sumur penduduk tertimbun dan tertutup puing. Adapun jangka selanjutnya yang perlu dipikirkan adalah pembangunan kembali rumah penduduk yang hancur, roboh, dan retak parah, tidak dapat ditempati kembali.

Pada gempa kali ini, dapat dilihat bahwa rumah yang selamat dari kerusakan berat adalah yang berbentuk "panggung". Berbeda dengan rumah panggung yang di Sulawesi, Sumatera, atau Kalimantan--yang berkolong dengan tiang setinggi sekitar 2 meter. Rumah tradisional yang dimaksud adalah lebih tepat disebut rumah yang "diganjal" dengan batu kapur berbentuk kotak, setinggi 30-50 cm dari muka tanah. Model ini secara teoritis serupa dengan rumah pesisir yang ada di AS atau Jepang. Yakni ditopang oleh tiang terputus, yang disambung dengan himpitan pelat baja yang kuat di kiri-kanannya. Bangunan demikian apabila terjadi gempa hanya bergerak terayun. Kenyataannya rumah tradisional Jawa Barat yang di Garut Selatan tersebut kondisinya hanya rusak ringan, pecah genting dan perabotan. Berbeda dengan rumah beton atau tembok, yang karena kaku terpaku didalam tanah, pada saat terkena goyangan mengalami kerusakan parah, pecah, roboh dan hancur.

Berbeda dengan rumah nelayan di pantai utara Jawa yang terlihat miskin, berdesakan dan kumuh. Di pantai selatan ini tampak kaya, mewah dan makmur. Mungkin nelayan di Pantura kebanyakan sebagai buruh nelayan dengan bagi hasil yang minim, serta sumberdaya ikannya sudah menipis akibat lebih tangkap atau over fishing. Adapun nelayan selatan Jawa kebanyakan memiliki sambilansebagai petani dan peternak, sedangkan sumberdaya ikannya masih banyak karena kurang tersentuh.

Namun kini korban gempa tersebut sedih, merenung, belum tahu harus mengapa, menatap rumah tembok indahnya telah berubah menjadi puing. Tuhan memberikan cobaan di bulan suci Romadhon, dan anak bangsa lain tentu tersentuh untuk peduli.

Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Dr. Soen'an Hadi Poernomo, Kepala Pusat Data, Statistik dan Informasi, Departemen Kelautan dan Perikanan, HP. 08161933911


Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2009