Pangkalpinang (ANTARA News) - Hasil tangkapan ikan nelayan Pulau Bangka berkurang akibat maraknya tambang inkonvensional (TI) apung di laut yang menyebabkan terumbu karang sebagai tempat ikan berkembang biak mengalami kerusakan dan air laut menjadi keruh.

"Biasanya saya bisa mendapatkan ikan hingga 200 kilogram sekali melaut di sepanjang pinggir pantai hingga dua mil laut, tapi sekarang dengan banyaknya TI timah yang beroperasi, hasil tangkapan menyusut hingga separuhnya," kata Armin, seorang nelayan di Pangkalpinang, Minggu.

Ia mengatakan, penambang timah menggunakan ponton, atau drum-drum yang diikat satu sama lainnya hingga bisa beraktivitas mencari timah di dasar laut. Pasir laut itu diangkat ke atas ponton yang menyebabkan air menjadi keruh dan ikan-ikan menjauhi wilayah itu.

"Akibat penambangan bijih timah itu, terumbu karang tempat ikan bermain dan berkembang biak rusak apalagi air laut tercemar akibat bahan bakar mesin tambang itu," ujarnya.

Ia mengatakan, beroperasinya penambang timah apung telah membuat nelayan dan pemilik tambang merasa resah. Aktivitas yang dilakukan penambang timah apung itu juga tidak memiliki ijin dan membahayakan bagi pekerjanya.

Dalam operasinya penambang timah apung menggunakan selang yang sudah disambungkan dengan kompresor di atasnya untuk menyelam ke dasar laut.

Pencari timah mencari pasir timah di dasar laut selama beberapa jam dan kemudian muncul kepermukaan membawa pasir timah. Bila selang tadi terlilit atau terlepas maka penambang di bawahnya akan meninggal kehabisan oksigen.

Ia berharap, aparat menertibkan penambang timah apung liar itu karena menyebabkan kerusakan terumbu karang sehingga berkurangnya hasil tangkapan nelayan.

"Tangkapan kurang sementara, harga kebutuhan pokok naik terus sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga selama puasa Ramadhan ini," ujarnya.

Demikian juga, Ferdi, nelayan Pangkalpinang lainnya, mengatakan, TI apung membuat terumbu karang tempat ikan bermain dan berkembang biak rusak sehingga tangkapan nelayan berkurang drastis.

"Tiap melaut selalu rugi, karena biaya melaut selama seminggu mencapai Rp1 juta lebih sementara tangkapan ikan sedikit," ujarnya.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009