Kabul (ANTARA News/AFP) - Sebuah badan bantuan Swedia menyatakan, Minggu, pasukan asing memasuki rumah sakit mereka di Afghanistan, menghancurkan pintu dan mengikat staf dan keluarga pasien, dalam pelanggaran atas perjanjian antara pekerja bantuan dan militer.
Komite Swedia untuk Afghanistan (SCA) menyatakan, pasukan memasuki rumah sakit di Shaniz di provinsi Wardak sebelah selatan Kabul pada Rabu larut malam tanpa memberikan alasan.
"Mereka memeriksa semua ruangan, bahkan kamar mandi, bangsal-bangsal pria dan wanita," kata SCA dalam sebuah pernyataan di situs beritanya, mengutip direktur wilayah itu Anders Fange.
"Ruangan-ruangan yang dikunci dimasuki secara paksa dan pintu-pintu bangsal malnutrisi dan bangsal ultrasound dihancurkan agar mereka bisa masuk," katanya.
"Setelah masuk rumah sakit, mereka mengikat empat pegawai dan dua anggota keluarga pasien. Staf SCA serta para pasien, bahkan orang-orang yang berada di ranjang, dipaksa ke luar ruangan (dan) bangsal selama pemeriksaan itu," tambah pernyatan itu.
SCA, yang menyebut insiden itu tidak bisa diterima, mengatakan, tindakan militer itu merupakan "pelanggaran jelas atas prinsip-prinsip kemanusiaan yang diakui secara global mengenai kesucian staf dan fasilitas kesehatan di daerah konflik".
Badan bantuan itu juga mengatakan bahwa tindakan tersebut melanggar perjanjian sipil-militer antara organisasi-organisasi non-pemerintah dan Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) pimpinan NATO.
Insiden itu berlangsung dua jam, dan setelah itu pasukan "mengeluarkan perintah lisan" agar pasien yang mungkin gerilyawan dilaporkan kepada pasukan koalisi.
Seorang jurubicara ISAF mengatakan, pihaknya belum memiliki informasi mengenai hal itu sampai penyelidikan selesai dilakukan.
Terdapat sekitar 100.000 prajurit internasional, terutama dari AS, Inggris dan Kanada, yang ditempatkan di Afghanistan untuk membantu pemerintah Presiden Hamid Karzai mengatasi pemberontakan yang dikobarkan sisa-sisa Taliban.
Serangan-serangan Taliban terhadap aparat keamanan Afghanistan serta pasukan asing meningkat dan puncak kekerasan terjadi hanya beberapa pekan menjelang pemilihan umum presiden dan dewan provinsi pada 20 Agustus.
Taliban, yang memerintah Afghanistan sejak 1996, mengobarkan pemberontakan sejak digulingkan dari kekuasaan di negara itu oleh invasi pimpinan AS pada 2001 karena menolak menyerahkan pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden, yang dituduh bertanggung jawab atas serangan di wilayah Amerika yang menewaskan sekitar 3.000 orang pada 11 September 2001.
Gerilyawan Taliban sangat bergantung pada penggunaan bom pinggir jalan dan serangan bunuh diri untuk melawan pemerintah Afghanistan dan pasukan asing yang ditempatkan di negara tersebut.
Dalam salah satu serangan paling berani, gerilyawan tersebut menggunakan penyerang-penyerang bom bunuh diri untuk menjebol penjara Kandahar pada pertengahan Juni tahun lalu, membuat lebih dari 1.000 tahanan yang separuh diantaranya militan berhasil kabur.
Bom rakitan yang dikenal sebagai IED (peledak improvisasi) mengakibatkan 70-80 persen korban di pihak pasukan asing di Afghanistan, menurut militer.
Antara 8.000 dan 10.000 prajurit internasional bergabung dengan pasukan militer pimpinan NATO yang mencakup sekitar 60.000 personel di Afghanistan untuk mengamankan pemilihan presiden Afghanistan pada 20 Agustus, kata aliansi itu.
Pemilu yang menetapkan presiden dan dewan provinsi itu dipandang sebagai ujian bagi upaya internasional untuk membantu menciptakan demokrasi di Afghanistan, namun pemungutan suara tersebut dilakukan ketika kekerasan yang dipimpin Taliban mencapai tingkat tertinggi.
Sekitar 300.000 prajurit Afghanistan dan asing mengambil bagian dalam pengamanan pemilu tersebut.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009