"Tiga puluh tahun lalu Garut juga dilanda gempa bumi yang cukup dahsyat, menyebabkan jatuhnya korban jiwa yang sangat banyak," kata Darma (55), ketika ditemui di lokasi pengungsian di Cikelet, Garut, Minggu pagi.
Sedikit-dikitnya 1.291 kepala keluarga (KK) atau 13.350 jiwa korban gempa bumi, kini ditampung di lokasi pengungsian itu. Selain Darma, beberapa yang lain juga mengaku teringat kembali dengan peristiwa yang muncul 30 tahun silam tersebut.
Berdasarkan catatan, 22 Nopember 1979 sekitar pukul 23.00 WIB, Kabupaten Garut diterjang gempa tektonik berkekuatan 5,8 pada Skala Richter (SR).
Darma mengatakan, bencana alam pada 1979 berdampak lebih parah dengan menelan kerugian yang lebih besar dibandingkan tragedi 2 September lalu.
Sementara upaya penanggulangan dampak 1979 tak sebaik saat ini, lanjut dia, waktu itu kondisi sarana penampungan para pengungsi lebih memprihatinkan.
Tidak hanya itu, kenang dia, pada 1982 masyarakat Garut kembali dikejutkan dengan letetusnya Gunung Galunggung yang lokasinya di kabupaten tetangga, Tasikmalaya.
Gempa vulkanik dan hujan abu yang dipancarkan gunung tersebut, begitu dirasakan oleh masyarakat Garut.
Ungkapan senada juga disampaikan Soban Syuban(53), pegawai Setda Garut yang mengatakan, kendati berkekuatan 5,8 SR, dampak gempa 1979 jauh lebih parah dibandingkan 2 September lalu.
Sementara kondisi para pengungsi bencana gempa 2009, memasuki hari kelima tampak semakin gelisah dan kadang emosional.
Pada menit-menit menjelang makan sahur atau berbuka puasa Ramadhan, misalnya, tidak sedikit pengungsi yang tampak "kukulutus" (bersungut-sungut) dengan mimik wajah tegang.
Kenyataan tersebut diduga akibat sebagian pengungsi yang mulai dihinggapi rasa jenuh dengan suasana yang mereka hadapi.
Beberapa camat di wilayah Garut Selatan, termasuk Camat Pameungpeuk, Jujun Juhana SSos, mengakui bahwa tidak sedikit p4engu8ngsi di daerahnya yang kini mulai jenuh tinggal di lokasi penampungan sementara.
Mengenai menu utama mereka selama ini, Camat Jujun mengatakan antara lain berupa ikan kaleng sarden, mie instan serta air kemasan gelas. Pada buka puasa mereka menikmati menu tambahan berupa tahu dan tempe.
"Menghadapi kondisi para pengungsi diperlukan kesabaran tinggi dengan memaklumi kondisi psikologis mereka yang kerap muncul sikap temperamental," ujar Jujun.
Sementara pemandangan di luar arena pengungsian, tampak tidak sedikit kalangan anak para pengungsi dengan bertelanjang dada meminta sumbangan dana di jalanan, dengan menyediakan kotak amal. (*)
Pewarta: Luki Satrio
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009