Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Majelis Permusyawararan Rakyat (MPR) RI Syarief Hasan meminta pemerintah memberikan penjelasan mekanisme iuran program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang akan memotong gaji pegawai negeri dan swasta sebesar 3 persen.
"Iuran ini akan berlangsung dalam jangka waktu lama sehingga berpotensi menjadi dana jumbo. Pemerintah harus menjelaskan mekanismenya," kata Syarief dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis.
Pemerintah resmi merilis program Tapera melalui Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2020. Namun, program ini menuai protes karena pemerintah akan memotong gaji pegawai negeri maupun swasta sebesar 3 persen sebagai iuran Tapera di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu akibat pandemi COVID-19.
Syarief juga mempertanyakan bagaimana dengan pekerja swasta yang terkena PHK di tengah pandemi COVID-19, termasuk dengan pegawai yang sudah memiliki rumah.
"Lalu dananya untuk apa?" tanya pemilik nama lengkap Syariefuddin Hasan tersebut.
Baca juga: MPR: Muatan RUU HIP harus diperbaiki secara hati-hati
Menurut dia, kebijakan Tapera belum urgen dilakukan saat ini ketika rakyat masih kesulitan hidup karena pandemi COVID-19.
"Tabungan perumahan bisa dilakukan dengan model lain tanpa harus memotong gaji pegawai dan memberatkan pengusaha kecil menengah. Belum lagi gaji pegawai mendapatkan banyak potongan, seperti potongan iuran BPJS yang dinaikan pemerintah, mau tidak mau mengganggu keuangan pegawai," katanya.
Legislator Partai Demokrat itu menyebutkan mayoritas pegawai menggunakan gaji mereka untuk memenuhi kebutuhan primer, seperti konsumsi sehari-hari dan pendidikan anak.
Jika gaji pegawai dipotong untuk iuran Tapera sementara harga kebutuhan pokok makin melambung, lanjut dia, kondisi ini akan menekan keuangan masyarakat.
Syarief Hasan mengingatkan bahwa dana Tapera adalah dana jumbo sehingga Badan Pengelola Tapera harus transparan dan meninggalkan gaya lama dalam pengelolaan dana besar.
"Ada biaya untuk direksi, pengawas, dan pegawai sehingga pengelolaan dana ini juga sangat rawan," tuturnya.
Pemerintah, lanjut Syarief Hasan, juga perlu memperhatikan inflasi properti karena sektor properti mencatat inflasi paling tinggi dibanding sektor lainnya.
Apalagi, kata dia, konsep Tapera adalah konsep jangka panjang yang dalam 5 sampai 10 tahun ke depan harga rumah naik berlipat-lipat.
Baca juga: Wakil Ketua MPR: Percepat realisasi insentif medis
Baca juga: Wakil ketua MPR sarankan moratorium TKA masuk ke Indonesia
"Pemerintah perlu memperhitungkan hal ini. Jangan pemerintah kembali menaikkan iurannya dengan alasan inflasi pada properti," ujarnya.
Selain itu, Syarief meminta Pemerintah untuk melakukan koordinasi di antara lembaga-lembaga yang menyediakan pembiayaan perumahan sehingga tidak terjadi tumpang-tindih program.
Misalnya, program manfaat layanan tambahan (MLT) dari BP Jamsostek yang juga memberikan fasilitas pembiayaan rumah dan uang muka kredit pemilikan rumah (KPR).
Ada juga program Pinjaman Uang Muka (PUM) KPR tanpa bunga bagi TNI, Polri, PNS, Kementerian Pertahanan, dan PNS Polri oleh PT Asabri melalui pemotongan Tabungan Hari Tua (THT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan Nilai Tunai Iuran Pensiun (NTIP).
"Jangan ada tumpang-tindih program yang pada akhirnya menghambat dan merugikan masyarakat yang menerima berbagai potongan gaji dan berimbas pada kualitas kesejahteraan rakyat," pungkasnya.
Seperti diketahui, selain pegawai dan karyawan, pengusaha juga merasa dirugikan dengan pemotongan itu sebab pengusaha harus menanggung 0,5 persen potongan gaji tiap pegawainya.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebutkan program Tapera akan memberatkan pengusaha kecil dan menengah yang sedang berjuang untuk menjaga stabilitas usaha di tengah pandemi COVID-19.
Apindo menilai program tersebut ttidak selaras dengan niat pemerintah untuk melakukan pemulihan ekonomi nasional sehingga sebagai perkumpulan atau asosiasi pengusaha di Indonesia dengan tegas menolak program itu.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020