Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menganggap Rancangan Undang Undang Kesehatan yang sedang dibahas DPR lebih berorientasi bisnis, sehingga warga miskin tidak bisa mengenyam jaminan kesehatan dari pemerintah.
"Secara keseluruhan RUU Kesehatan memiliki paradigma privatisasi pelayanan kesehatan. Terbukti dari 123 pasal dalam RUU itu tidak ada satu pun pasal yang mengatur kewajiban negara. Sebaliknya kewajiban atas pemenuhan hak kesehatan diserahkan kepada masyarakat," kata Kepala Divisi Litbang LBHJ, Restaria Hutabarat di Jakarta, Jumat.
Termasuk penegakan hukum pelanggaran hak atas kesehatan yang dibebankan kepada korban. Hal itu, katanya, membuat korban semakin sulit memperoleh pemulihan hak.
Beberapa paradigma privatisasi pelayanan kesehatan yang termaktub dalam RUU Kesehatan tercermin dalam beberapa isi pasal, di antaranya bahwa korban pelayanan kesehatan melindungi dirinya sendiri dan negara undur dari kewajiban (pasal 11 ayat 1).
Dalam RUU Kesehatan disebutkan bahwa kewajiban pemenuhan hak atas kesehatan diserahkan kepada setiap orang kecuali negara (pasal 12 ayat 1) dan rakyat diasumsikan sebagai masalah utama (pasal 14).
Komersialisasi kesehatan juga terlihat dalam uraian pasal 16 ayat i yang menyebutkan bahwa setiap orang berkewajiban turut serta dalam program asuransi kesehatan sosial.
RUU Kesehatan itu memberikan izin kepada rumah sakit untuk menolak rakyat miskin. Hal itu termaksud dalam pasal 34.
Restaria mengatakan, pasal yang dianggap "keterlaluan" adalah pada pasal 115 yang berbunyi bahwa setiap orang yang mengidap atau menderita penyakit menular atau yang melakukan perbuatan yang dapat menularkan penyakit kepada orang lain, sebagaimana dimaksud dalam pasal 74 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp 100 juta.
"Rencananya RUU Kesehatan akan diparipurnakan oleh DPR pada 15 September 2009. Jika RUU ini disahkan maka bertentangan dengan UUD 1945 dan pelanggaran hak atas kesehatan dilanggengkan oleh ketentuan hukum," tambah Restaria.
Dalam menanggapi itu, kata Restaria, LBH Jakarta sudah beberapa kali mengirimkan surat penolakan terhadap RUU Kesehatan itu ke DPR. Padahal LBH Jakarta turut memberikan 40 kasus pelanggaran hak atas kesehatan yang dicatat sejak tahun 2001 ke DPR.
"Namun tetap saja tidak ditanggapi dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan tersebut, LBH Jakarta mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk membuka akses masyarakat sipil untuk menentukan arah kebijakan negara dalam RUU Kesehatan," ujarnya.
Pemerintah dan DPR diharapkan bisa mengubah paradigma dama RUU itu agar lebih menjamin pemenuhan hak atas kesehatan bagi semua orang termasuk rakyat miskin.
Yang terpenting pemerintah dan DPR menghapus segala ketentuan privatisasi pelayanan kesehatan, kriminalisasi rakyat miskin, dan penolakan pasien miskin dalam RUU Kesehatan.
"Selain itu, negara harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan masyarakat yang murah. Dan menghentikan penolakan pasien-pasien miskin di pusat pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta," katanya.
(*)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009