Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan pandemi COVID-19 memengaruhi nilai tukar petani (NTP) dengan semakin turunnya NTP per Mei 2020.
Pada Selasa (2/6), Badan Pusat Statistik mencatat NTP Mei 2020 sebesar 99,47 atau lebih rendah 0,85 persen dibandingkan dengan bulan April sebesar 100,32.
Menurut Galuh, penurunan NTP yang terus terjadi sejak awal tahun ini semakin memprihatinkan petani, utamanya di tengah kondisi musim panen raya yang seharusnya berlangsung selama bulan Mei 2020.
Baca juga: Pemerintah diminta aktifkan lembaga pembiayaan petani
"Pandemi COVID-19 menyebabkan hasil panen tidak terserap secara maksimal di pasaran. Tidak terserap dengan baiknya komoditas pangan hasil panen ini disebabkan karena berkurangnya pendapatan masyarakat atau pun karena adanya pembatasan sosial berskala besar yang ditetapkan oleh pemerintah," kata Galuh dalam keterangan di Jakarta, Kamis.
Ia menjelaskan pandemi COVID-19 menyebabkan beberapa sektor tidak dapat beroperasi secara maksimal sehingga menyebabkan berkurangnya pendapatan dan menyusutnya tenaga kerja. Hal ini secara langsung akan melemahkan daya beli dan konsumsi masyarakat.
Selain itu, kebijakan PSBB mau tidak mau memengaruhi kelancaran distribusi komoditas pangan antarkota, antarprovinsi dan antarpulau. Walaupun pangan dikecualikan dari penerapan PSBB, adanya pemeriksaan di pos-pos yang berada di check point tertentu berdampak pada kelancaran lalu lintas
Berdasarkan laporan BPS, turunnya NTP Petani juga dibarengi dengan adanya perubahan Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) di Indonesia sebesar minus 0,07 persen pada bulan Mei 2020 yang disebabkan oleh turunnya indeks di Kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau.
Lesunya daya beli masyarakat juga nyatanya memengaruhi nilai inflasi. BPS mencatat adanya penuruan tingkat inflasi Mei 2020 sebesar 0,07 persen (month to month) atau 2,19 persen(year on year).
Baca juga: Kementan bantu petani gula aren Banten terdampak COVID-19
Pola inflasi yang nyatanya tidak biasa ini disebabkan oleh adanya penurunan permintaan akibat lemahnya daya beli dan pembatasan aktivitas masyarakat.
Dalam usahanya menjaga ketahanan pangan, lanjutnya, pemerintah selalu menjadikan ketersediaan dan stabilitas harga pasokan pangan sebagai fokus utama di tengah pandemi COVID-19 yang masih terus berlangsung.
Di sisi lain, petani yang merupakan produsen bahan pangan justru harus diperhatikan perlindungan sosialnya agar mereka tetap produktif.
"Selain tentunya Bulog yang harus terus menyerap pangan dari petani dengan harga yang menguntungkan petani, pemerintah juga telah menggalakkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi petani," kata Galuh.
Agar program KUR ini efektif, syarat pengajuan dan prosedurnya juga idealnya dipermudah. Sebagai contoh pada tanaman padi, pemerintah mendorong agar petani yang ingin mendapatkan KUR haruslah terlebih dahulu tergabung dalam program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) yang digencarkan oleh Kementerian Pertanian.
Agar KUR dapat dimanfaatkan dengan maksimal, tentunya mekanisme dan prosedur pendaftaran serta pengajuan klaim program AUTP pun harusnya tidak sulit agar mudah dipahami dan dapat memperoleh kepercayaan dari para petani.
Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020