Bengkulu (ANTARA) News) - Gelombang dan gemuruh ombak dari laut lepas Samudra Indonesia yang tiada henti dengan rata-rata ketinggian dua sampai empat meter yang terus menghantam sepanjang garis pantai barat wilayah Provinsi Bengkulu, semakin menakutkan.
Ancaman gelombang dari lautan bebas ke pantai dan daratan Bengkulu semakin terlihat terus menerpa sejumlah titik di jalur lintas barat (Jalinbar) Kabupaten Mukomuko, dan terancan putus akibat pengikisan (abrasi).
Mukomuko, merupakan kabupaten yang dimekarkan dari Bengkulu Utara yang memiliki potensi perkebunan kelapa sawit, coklat, dan karet terbesar di Provinsi Bengkulu setidaknya harus diselamatkan dari ancaman abrasi.
Kabupaten Mukomuko berjarak sekitar 300 Km dari Kota Bengkulu atau berada paling ujung utara yang berbatasan dengan Provinsi Sumatra Barat dan Jambi (Kabupaten Kerinci).
"Ada tiga titik yang rawan putus dan butuh penanganan secepatnya, namun karena statusnya jalan negara, menjadi tanggung jawab Departemen PU," kata Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi Provinsi Bengkulu, Ali Berti.
Tiga titik jalan yang menghubungkan Bengkulu-Sumbar terancam putus terdapat di Desa Urai dan Serangai, Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu Utara, dan di Desa Air Punggur, Kecamatan Mukomuko Utara, Kabupaten Mukomuko.
Keganasan ombak pantai barat membuat badan jalan yang memanjang di pinggir pantai tergerus hingga nyaris putus.
Dua titik yaitu Serangai dan Urai sebagian badan jalannya sudah amblas, tinggal menunggu waktu putus. Kerawanan terhadap kecelakaan lalulintas pun terus mengintai. Bahkan minggu lalu satu unit truk kendaraan pengangkut minyak sawit mentah (CPO) terguling ke pantai.
Kondisi badan jalan ini amat berbahaya bagi pengguna jalan apalagi saat malam hari karena tidak ada penerangan jalan.
Bupati Mukomuko, Ichwan Yunus, mengaku dirinya prihatin melihat kondisi daerahnya itu. "Saya minta pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi Bengkulu serius memprihatikan kondisi tersebut," katanya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPRD Provinsi Bengkulu, Sakum Lair, menilai pemerintah pusat sangat lamban menyikapi abrasi Jalinbar karena sudah berlangsung lama.
"Kondisi jalan ini sangat berubah drastis sejak gempa tahun 2007 yang melanda Bengkulu, badan jalan ini sudah mulai tergerus ombak, tapi sampai sekarang tidak ada perhatian dari pemerintah pusat," ujarnya.
Untuk mengantisipasi terjadinya korban jiwa, Sakum meminta agar Pemprov melakukan penanganan darurat sebelum anggaran Departemen PU turun ke Bengkulu.
Untuk memperbaiki jalan lintar barat Sumatra yang mengalami rusak parah, pada tahun ini pemerintah pusat mengalokasikan dana Rp49 miliar.
"Perbaikan jalan itu akan dikerjakan dalam waktu dekat karena anggarannya sudah ada, dan mudah-mudahan sebelum lebaran sudah bisa digunakan," kata Aisten II Sekprov Fauzan Rahim.
Ia mengatakan, perbaikan jalan tersebut akan diutamakan pada sejumlah titik yang rusak parah bahkan terancam putus akibat abrasi pantai khususnya di wilayah Bengkulu bagian Utara.
Jika perbaikan tersebut belum tuntas menjelang Idul Fitri nanti, kata dia, sejumlah titik tersebut akan dilarang untuk dilalui.
Beberapa jalur alternatif yang melintasi wilayah utara yang bisa digunakan antara lain melintasi jalur di Kecamatan Batik Nau-Kecamatan Ketahun.
"Di Kabupaten Mukomuko bisa melewati jalur Penarik-Lubuk Pinang, tanpa melintasi Desa Air Punggur," katanya.
Untuk mengantisipasi rawan kecelakaan, Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi Provinsi Bengkulu akan memasang rambu-rambu lalu lintas di sejumlah titik jalan lintas barat (Jalinbar) yang kondisinya kritis bahkan terancam putus.
"Ini untuk mengantisipasi terjadinya kecelakaaan di sepanjang Jalinbar, maka kami akan memasang rambu-rambu darurat di beberapa titik jalan yang kritis," ujar Kepala Dishubkominfo, Ali Berti.
Penghijauan
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu menilai luas atau volume hutan pantai di pantai Bengkulu perlu ditambah, karena berfungsi melindungi daratan dari pengikisan pantai (abrasi).
"Hutan pantai di Kabupaten Mukomuko yang sudah habis, bisa dilihat akibatnya. Abrasinya sangat parah, bahkan badan jalan di sekitar pantai sudah amblas," kata Direktur Walhi Bengkulu, Zenzi Suhadi.
Dari pantauan Walhi Bengkulu, kondisi hutan pantai yang kondisinya masih tergolong baik hanya terdapat di Pulau Enggano Kecamatan Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara.
Meski tidak ada aktivitas perusakan terhadap hutan pantai dengan vegetasi pohon bakau tersebut, abrasi tinggi tetap menjadi ancaman berkurangnya luasan hutan pantai tersebut.
Menurut dia, letak geografis Bengkulu yang memiliki panjang pantai lebih dari 500 km sangat rawan dengan abrasi atau penyempitan daratan sehingga perluasan hutan pantai dan penanaman pohon cemara pantai bisa mencegah hal tersebut.
Hampir sepanjang pantai tersebut juga sudah dihuni masyarakat tujuh kabupaten yakni Kabupaten Mukomuko, Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, Kota Bengkulu, Seluma, Bengkulu Selatan dan Kabupaten Kaur.
"Kondisi ini menjadi alasan yang cukup logis bahwa kawasan pesisir harus dilindungi dengan memperluas hutan pantai," katanya.
Kondisi di lapangan, menurut dia, justru berbeda di mana sejumlah Pemkab khususnya Seluma dan Kaur yang mengizinkan eksploitasi kawasan pesisir dengan alasan meningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari potensi tambang biji besi.
Di Kabupaten Seluma meskipun keberadaan pertambangan tersebut ditentang masyarakat setempat dengan alasan keselamatan karena tingkat abrasi tinggi, namun Pemkab seolah menutup mata dan tetap mengeluarkan izin eksplorasi.
"Bahkan saat ini ada tujuh perusahaan baru yang sudah dikeluarkan izin eksplorasinya oleh Pemkab Seluma," katanya.
Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Kaur, dengan mengeluarkan izin eksploitasi pasir biji besi di pesisir Pantai Way Hawang.
Aktivitas eksploitasi ini akan membuat kerusakan lingkungan yang semakin parah dan akan berdampak bagi masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir.
Ia meminta demi kelestarian kawasan pesisir, pemerintah kabupaten diminta untuk menghentikan mengeluarkan izin eksploitasi kawasan pantai khususnya pertambangan biji besi.
Menakutkan
Abrasi kawasan pantai barat Sumatra semakin mengkhawatirkan. Misalnya di Desa Serangai Kec. Batik Nau, Kab. Bengkulu Utara, terdapat sedikitnya dua puluh kepala keluarga (KK) yang harus pindah dari tepian pantai sebab air laut sudah mencapai ke permukiman mereka.
Abrasi pantai juga mengakibatkan sejumlah tanaman sawit penduduk mati akibat terjangan gelombang. "Lebih dari dua meter daratan terkikis ombak, karena rumah warga yang dulu ada di tepi pantai, sudah pindah ke dalam Trans Serangai yang berlokasi sekitar tiga kilometer dari sini," kata Supardi yang juga warga Desa Serangai.
Menurut Supardi, abrasi ini terjadi pascagempa berkekuatan 7,9 pada Skala Richter (SR) yang melanda Bengkulu pada September 2007. Saat itu kira-kira tiga puluh menit pascagempa, terjadi tsunami kecil hingga mencapai satu kilometer ke daratan dan menyapu puing-puing rumah masyarakat yang sudah rubuh akibat gempa.
Selain Supardi, ada Sufia (50) yang masih bertahan di rumahnya yang berada di tepi pantai. Ia mengaku was-was dengan kondisi tersebut, namun ia tetap terpaksa tinggal di situ lantaran kondisi kesulitan ekonomi, meski setiap malam tidak bisa tidur dengan tenang.
Di Desa Serangai yang berbatasan dengan Desa Urai, sekitar tujuh puluh lima persen warganya bekerja sebagai nelayan tradisional. Mereka mengatakan sejak gempa bumi 2007, hasil tangkapan para nelayan menurun drastis.
"Mungkin posisi dan kondisi di laut belum stabil sehingga ombak lebih sering tinggi, biasanya dalam sebulan ombak bisa normal tapi sekarang posisi normal hanya dua sampai tiga hari kemudian kembali tinggi dalam waktu yang lama," katanya.
Walhi mencatat sepanjang 525 km pantai barat kawasan Bengkulu kondisinya terancam abrasi. Ancaman ini didukung dengan aktivitas penambangan pasir di bibir pantai yang mengakibatkan abrasi semakin meluas. Kondisi tersebut ini membuat rawan perusakan hutan bakau (mangrove) yang berfungsi sebagai lahan konservasi.
Abrasi Pantai Barat Makin Mengkhawatirkan
Kondisi yang mengkhawatirkan ini juga terpantau saat wartawan ANTARA menelusuri pesisir barat Kabupaten Mukomuko, pekan lalu.
Hutan pantai cemara laut, pohon bakau, dan ketaping yang selama ini berperan sebagai penyangga, ternyata mulai hilang tergerus gelombang laut. Akibatnya, gelombang Samudra Indonesia setinggi satu meter lebih dengan leluasa menghantam dan menggerus daratan pantai setiap saat.
Akankah ancaman yang semakin mencekam itu tetap dibiarkan? (*)
Oleh Oleh Indra Goeltom Dan Rini S
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009