Harga ini sangat rendah dan di sini perlunya intervensi dari pemerintah

Jakarta (ANTARA) - Serikat Petani Indonesia (SPI) meminta pemerintah segera mengambil kebijakan pertanian agar kerugian petani tidak terus berlanjut, seiring dengan masih menurunnya Nilai Tukar Petani (NTP) Nasional pada Mei 2020.

Badan Pusat Statistik sebelumnya merilis Nilai Tukar Petani (NTP) nasional untuk bulan Mei tahun 2020 sebesar 99,47 atau mengalami penurunan sebesar 0,85 persen dibandingkan bulan sebelumnya.

Ketua Umum SPI Henry Saragih menilai penurunan NTP Mei 2020 berarti nilai NTP nasional berada di bawah standar impas petani (di bawah 100).

Hal ini dapat diartikan bahwa petani mengalami kerugian, karena harga yang diterima petani (hasil penjualan) lebih kecil daripada harga yang dibayar (pengeluaran konsumsi rumah tangga dan modal produksi).

"Sejak awal merebaknya pandemi COVID-19 di Indonesia, SPI sudah mengingatkan pemerintah bahwa petani menjadi kelompok yang perlu mendapat perhatian khusus," kata Henry melalui keterangan di Jakarta, Rabu.

Menurut Henry, di satu sisi peran petani menjadi vital karena produksi pangan harus tetap berjalan di tengah pandemi. Sementara di sisi lain, petani menjadi rentan, baik itu risiko tertular COVID-19 maupun tidak terserapnya hasil produksi pertaniannya.

Dalam rilis tersebut, BPS juga menyebutkan penurunan NTP nasional dipengaruhi menurunnya NTP di tiga subsektor, yakni NTP Subsektor Tanaman Pangan (0,54 persen), Subsektor Hortikultura (0,58 persen), dan penurunan terbesar di Subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat (2,30 persen).

Untuk NTP tanaman hortikultura, penurunan harga jual di tingkat petani dirasakan oleh petani anggota SPI di wilayah. Tanaman cabai misalnya, di beberapa wilayah seperti Rembang bahkan pernah mencapai Rp5.000 per kg.

"Harga ini sangat rendah dan di sini perlunya intervensi dari pemerintah, apakah melalui kebijakan operasi pasar atau kebijakan lainnya yang dapat memberikan keuntungan pada petani," kata Henry.

Terkait besarnya penurunan NTP untuk subsektor tanaman perkebunan rakyat, Henry menyebutkan hal ini dipengaruhi kebijakan negara-negara untuk memproteksi wilayahnya sehingga membatasi arus perdagangan internasional.

SPI menilai pemerintah harus berani mengambil kebijakan untuk mengonversi tanaman-tanaman perkebunan ke tanaman pangan. Seperti diketahui, harga tanaman perkebunan saat ini turun, sementara masih banyak tanah-tanah perkebunan yang dapat dimaksimalkan untuk tanaman pangan.

"Hal ini relevan dengan ancaman krisis pangan yang diprediksi oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Kita harus memperkuat kedaulatan pangan Indonesia," kata Henry.

Terkait dengan kebijakan pemerintah dalam penanganan COVID-19, SPI menilai kebijakan yang diambil pemerintah khususnya di sektor pertanian belum cukup mumpuni untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi petani Indonesia saat ini.

Pemerintah baru-baru ini meluncurkan kelonggaran terhadap Kredit Usaha Rakyat (KUR). Hal ini memang perlu, tetapi menurut Henry, tidak menjawab masalah-masalah lain yang dihadapi petani, seperti sulitnya distribusi atau memasarkan hasil-hasil pertanian dan anjloknya harga jual dari petani untuk beberapa jenis tanaman.

Ia menilai pemerintah harus memperluas stimulus bagi petani, terkhusus subsidi, yang tidak hanya di sektor input tetapi juga merata ke sektor outputnya.

"Ketergantungan terhadap pasar dan tengkulak masih terjadi. Padahal apabila peran Bulog, BUMN pangan dan koperasi petani dimaksimalkan, persoalan harga dan penyaluran pangan dapat teratasi," kata dia.

Baca juga: BPS: Ekspor pertanian tumbuh 12,66 persen pada April
Baca juga: BPS: Nilai Tukar Petani melemah pada Mei, di bawah angka 100

Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020