kurangnya tenaga kerja lulusan sarjana dan diploma dalam bidang teknik

Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan kurangnya tenaga kerja menjadi tantangan Indonesia yang tengah melakukan hilirisasi minerba.

Padahal, hilirisasi minerba menjadi salah satu fokus pemerintah dalam skenario pemulihan ekonomi di Indonesia pascapandemi COVID-19.

"Setelah mendengar beberapa paparan dari para akademisi dan peneliti, saya melihat ada tantangan dalam mengembangkan industri hilirisasi yang dihadapi Indonesia, yaitu kurangnya tenaga kerja lulusan sarjana dan diploma dalam bidang teknik," kata Luhut dalam unggahan di media sosial resminya, Rabu.

Berdasarkan data Kementerian Ristek Dikti yang dipaparkan dalam kesempatan rapat koordinasi terkait Hilirisasi Industri Logam dan Pengembangan Sumber Daya Alam bersama lintas kementerian dan perguruan tinggi terkait, pada tahun 2025 Indonesia diproyeksikan membutuhkan 276.298 lulusan sarjana teknik dan 458.876 lulusan vokasi teknik.

Sedangkan ketersediaan untuk S1 diproyeksi hanya berjumlah 27.721 orang dan D3 sebanyak 5.634 orang. Dengan demikian, akan ada kekurangan tenaga S1 Teknik sebanyak 248.577 dan D3 Teknik sebanyak 453.243 pada tahun 2025.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019 juga menunjukkan bahwa mayoritas tenaga kerja di Indonesia masih berpendidikan SD ke bawah dengan jumlah sebesar 52,4 juta orang. Berikutnya adalah lulusan pendidikan SMA dengan 23,1 juta orang, SMP 22,9 juta orang, lalu SMK 14,6 juta orang, kemudian baru Sarjana dengan 12,61 juta dan Diploma I/II/III dengan 3,6 juta orang.

"Melihat data yang disampaikan oleh para akademisi ini, saya berpikir bahwa ini adalah tantangan serius bagi pemerintah yang tengah gencar melakukan hilirisasi industri minerba. Padahal, industri hilirisasi membutuhkan lulusan sarjana dan vokasi teknik dalam jumlah yang sangat besar," katanya.

Untuk itu, Luhut mengaku ingin semua pihak untuk fokus menyiapkan program pengembangan sumber daya manusia (SDM) untuk kebutuhan industri yang terintegrasi.

Ia menyebut harus ada koordinasi yang solid antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Ketenagakerjaan serta kementerian dan lembaga terkait lainnya untuk merumuskan kebijakan dan program pengembangan studi serta kurikulum pendidikan vokasi khususnya terkait Industri logam.

"Karena saya belajar dari pengalaman saya mendirikan Institut Teknologi DEL bersama istri saya dahulu, membangun sebuah institusi pendidikan tidaklah mudah, butuh dukungan yang nyata tak hanya dari pemerintah tetapi juga kerja sama dengan pihak swasta," katanya.

Purnawirawan jenderal TNI itu mengatakan sebagai bagian dari pemerintahan Presiden Joko Widodo, ia ingin agar pengembangan SDM Indonesia menjadi misi besarnya dalam menjemput kesempatan emas untuk mempersiapkan generasi-generasi muda untuk mendapatkan bekal ilmu yang akan menjadi bekal keahlian mereka.

Dengan demikian, generasi muda nantinya bisa mendapatkan pekerjaan dan siap menerima transfer teknologi sesuai syarat yang selalu saya sampaikan kepada para investor.

"Kepada semua kementerian/lembaga, saya berharap ada kepaduan dalam merumuskan kebijakan ini. Tidak bisa ada satu sektor yang merasa dirinya yang paling mengatur karena yang harus dikedepankan adalah kepentingan nasional. Jadi tidak bisa hanya bermuara pada kepentingan sektoral. Demi masa depan terbaik generasi penerus Ibu Pertiwi serta tanda keberlanjutan era kebangkitan Industri di Indonesia," pungkasnya.

Baca juga: Menperin dukung revisi UU Minerba, percepat hilirisasi industri
Baca juga: Anggota DPR ingin hilirisasi tambang diatur di RUU Minerba
Baca juga: Proyek strategis senilai Rp1 triliun mampu serap 14.000 tenaga kerja

Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020