Jakarta (ANTARA News) - Ekonom Senior "The Institute for Development of Economics and Finance" (INDEF) Prof Dr Bustanul Arifin mengatakan, era pangan murah sudah lewat, sehingga pemerintah harus serius menggarap ketahanan pangan nasional karena pangan semakin sulit dipenuhi.
"Harga pangan dunia semakin melambung, era pangan murah sudah lewat," kata Bustanul seusai Diskusi Pakar "Strategi dan Kebijakan Kedaulatan Pangan dan Energi Berbasis Sumber Daya Nasional" yang diselenggarakan Ikatan Cendekiawan Muslim indonesia di Jakarta, Selasa.
Dibanding lima tahun lalu, ujar Guru Besar Unila itu, harga pangan saat ini lebih mahal 30 persen, bahkan untuk jenis tertentu bisa 50-70 persen lebih mahal.
Penyebabnya, lanjut dia, selain spekulasi yang dilakukan para pemilik modal dan negara-negara di dunia yang semakin protektif, juga konversi bahan pangan ke biofuel dan faktor perubahan iklim.
Lahan pertanian, ujarnya, juga tidak banyak bertambah dan semakin menciut seiring era industrialisasi, sementara jumlah penduduk dunia yang harus dipenuhi kebutuhan pangannya semakin besar.
Di Indonesia, urai Bustanul, luas panen bertambah dari 11,52 juta ha pada 2002 menjadi 12,67 juta ha pada 2009 dengan produktivitas meningkat dari 4,47 ton per ha menjadi 4,94 ton per ha sehingga produksinya meningkat dari 51,5 juta ton pada 2002 menjadi 62,6 juta ton pada 2009.
Namun demikian karena tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia per tahun mencapai 3,5 juta jiwa maka harga pangan tak bisa menyeimbangkan pertumbuhan ini dan terpaksa melambung.
Ditambah lagi saat ini dunia sedang mulai sibuk mengkonversi hasil pertaniannya dari bahan pangan menjadi energi, mulai dari jagung, gula, gandum hingga singkong dikonversi menjadi biofuel.
Perubahan iklim, ujarnya, diprediksi akan menyebabkan air laut naik 0,5 meter dalam jangka waktu tak lama lagi dan sawah di Jawa hilang seluas 113 ribu ha dan penurunan produksi pangan yakni padi sawah mencapai 10,47 juta ton pada 2050.
Ketua Departemen Ekonomi ICMI Dr Sugiharto mengatakan, ketergantungan terhadap impor pangan telah menguras devisa hingga Rp50 triliun per tahun, misalnya impor daging sapi senilai 480 juta dolar AS atau setara Rp4,8 triliun.
"Padahal sebagian pangan yang diimpor bisa dihasilkan di dalam negeri jika pemerintah mau serius menanganinya," kata mantan Menteri BUMN itu.
Ia menegaskan perlunya Indonesia tidak lagi mengekspor sumber daya alamnya secara gelondongan, tetapi diolah dulu di dalam negeri sebelum diekspor, sehingga mendapat nilai tambah yang cukup besar.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009