PCR test yang 2,5 juta dan beberapa sudah menurunkan harganya, itu lebih mahal daripada biaya bepergian khususnya lokasi yang berdekatan, seperti Jakarta-Surabaya. Jadi, apalagi kalau bepergian tujuh hari yang berarti harus PCR dua kali dan bianya ha
Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengeluhkan tes Polymerase chain reaction (PCR) lebih mahal ketimbang tiket pesawat.
“PCR test yang 2,5 juta dan beberapa sudah menurunkan harganya, itu lebih mahal daripada biaya bepergian khususnya lokasi yang berdekatan, seperti Jakarta-Surabaya. Jadi, apalagi kalau bepergian tujuh hari yang berarti harus PCR dua kali dan bianya harus Rp5 juta sementara perjalanan bolak balik hanya Rp1,5 juta,” kata Irfan dalam webinar yang bertajuk “Kolaborasi Merespon Dampak Pandemi COVID-19 dan Strategi Recovery pada Tatanan Kehidupan Normal Baru di Sektor Transportasi” di Jakarta, Selasa.
Pasalnya, surat keterangan bebas COVID-19 yang dibuktikan tes PCR merupakan syarat wajib bagi calon penumpang untuk bisa melakukan penerbangan.
Untuk itu, Irfan mengatakan pihaknya harus mengkaji kembali harga tiket pesawat agar masyarakat masih mau membeli dan tidak terbebani dengan mahalnya biaya tes PCR.
Selain itu, pihaknya juga wajib menerapkan protokol kesehatan dengan menjaga jarak antara penumpang dalam susunan tempat duduk di pesawat di mana mengurangi tingkat keterisian yang otomatis menurunkan pendapatan.
“Kalau ‘physical distancing’ ini dipastikan dilakukan tentu kita harus ‘review’ harga dari penerbangan tersebut,” katanya.
Irfan menambahkan di luar itu, proses pra-penerbangan juga semakin rumit dengan adanya pemeriksaan dokumen dan kesehatan.
“Artinya, ke depan industri ini akan menghadapi penurunan drastis penumpang. Adalah kepentingan bersama, bersama regulator untuk memastikan ini butuh waktu. Kami mendapatkan konsesus, industri ini bisa recovery sebelum COVID-19 dalam masa dua sampai tiga tahun,” katanya.
Ia mengatakan masyarakat yang kerap kali sering melakukan penerbangan pun masih menunggu (wait and see) keadaan untuk kembali pulih.
“Situasi COVID ini juga membuka kita melihat peluang dnegan memahami perilaku costumer. Kami lakukan riset kecil-kecilan terhadap kita punya GA Miles dan dari riset ini berkeinginan tetap pergi. Tapi yang mengagetkan 65 persen dari responden menyatakan posisinya ‘wait and see’,” katanya.
Baca juga: Fokus di logistik, Garuda luncurkan layanan ekspedisi "KirimAja"
Baca juga: Pendapatan Garuda anjlok 90 persen, 70 persen pesawat dikandangkan
Baca juga: Haji batal, Dirut Garuda: Kita buka rute internasional pelan-pelan
Baca juga: Garuda percepat penyelesaian kontrak pilot
Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2020