Tbilisi (ANTARA News/AFP) - Georgia hari Senin menyebut kunjungan walikota Moskow ke wilayah separatis Ossetia Selatan "tidak bermoral" dan mengecam pembukaan daerah permukiman baru di provinsi itu dengan nama seperti ibukota Rusia.
Walikota Moskow Yuri Luzhkov mengunjungi Ossetia Selatan untuk meresmikan sebuah daerah pinggiran baru yang bernama distrik Moskovsky di luar kota utama wilayah itu, Tskhinvali.
Deputi Menteri Luar Negeri Georgia David Jalagania mengatakan, kunjungan Luzhkov itu melanggar hukum internasional, dan daerah baru itu dibangun di puing-puing sebuah desa etnik Georgia, Tamarasheni, yang penduduknya melarikan diri dari daerah itu selama perang tahun lalu menyangkut Ossetia Selatan.
"Pelaksanaan acara semacam itu serta rejim kriminal Tskhinvali tidak bermoral sama sekali... dan bahkan Nazi tidak berpikir untuk membangun sebuah daerah permukiman dan menamakannya Berlin," kata Jalagania kepada wartawan di Tbilisi.
Luzhkov, yang pemerintahnya menjanjikan bantuan jutaan dolar kepada Ossetia Selatan, memuji daerah baru itu sebagai bagian dari upaya membangun lagi wilayah separatis yang rusak parah akibat perang itu.
"Kita bisa memberikan perumahan kepada orang-orang yang membutuhkan, yang telah kehilangan ayah, anak dan pembela, yang mempertahankan negara dari agresor. Distrik Moskovsky telah memiliki prasarana sipil terkini, alat pemanas, air dan segala sesuatu yang diperlukan," kata kantor berita Interfax mengutip walikota tersebut.
Selain Ossetia Selatan, wilayah lain yang memisahkan diri dari Georgia adalah Abkhazia.
Kremlin mengakui kemedekaan wilayah-wilayah separatis Georgia yang didukung Moskow itu pada 26 Agustus tahun lalu, beberapa pekan setelah pasukan Rusia mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan.
Georgia menyatakan, perang itu dan pengakuan Moskow terhadap wilayah-wilayah tersebut sebagai negara merdeka merupakan pencaplokan atas wilayah kedaulatannya.
Pada 27 Agustus, Presiden Rusia Dmitry Medvedev menegaskan bahwa Moskow tidak akan pernah membatalkan keputusannya mengakui Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai negara-negara yang merdeka dari Georgia.
Pasukan Rusia memasuki Georgia untuk mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan pada 7-8 Agustus 2008. Perang lima hari pada Agustus itu meletus ketika Tbilisi berusaha memulihkan kekuasannya dengan kekuatan militer di kawasan Ossetia Selatan yang memisahkan diri dari Georgia pada 1992, setelah runtuhnya Uni Sovyet.
Georgia dan Rusia tetap berselisih setelah perang singkat antara mereka pada tahun lalu itu. Hubungan Rusia dengan negara-negara Barat memburuk setelah perang tersebut.
Ossetia Selatan dan Abkhazia memisahkan diri dari Georgia pada awal 1990-an. Kedua wilayah separatis itu bergantung hampir sepenuhnya pada Rusia atas bantuan finansial, militer dan diplomatik.
Georgia tetap mengklaim kedaulatan atas kedua wilayah tersebut dan mendapat dukungan dari Barat.
Ossetia Selatan pada 11 Maret menyatakan akan mengizinkan pasukan Rusia menggunakan wilayah tersebut untuk pangkalan militer selama 99 tahun.
Pemimpin Abkhazia Sergei Bagapsh juga mengatakan sebelumnya pada Maret, provinsi itu akan segera menandatangani sebuah perjanjian yang mengizinkan Rusia membangun sebuah pangkalan di wilayah separatis lain Georgia itu untuk kurun waktu 49 tahun.
Rencana Rusia untuk tetap menempatkan ribuan prajurit di Abkhazia dan Ossetia Selatan telah membuat marah Tbilisi dan sekutu-sekutu Barat-nya, yang mengatakan bahwa hal itu melanggar gencatan senjata yang mengakhiri perang.
Pengakuan Moskow atas kemerdekaan kedua wilayah itu menyulut kecaman dari Georgia dan banyak negara Barat.
Rusia meresmikan pengakuannya atas kemerdekaan kedua wilayah Georgia yang memisahkan diri itu, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 16 Januari ketika Presiden Dmitry Medvedev menerima duta-duta besar pertama mereka yang bersanding sejajar dengan para duta besar dari negara anggota NATO.
Nikaragua adalah satu-satunya negara selain Rusia yang memberikan "pengakuan penuh" kepada republik-republik Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai "anggota baru komunitas negara merdeka dunia".(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009