Jakarta (ANTARA News) – Ada pepatah di China, "Siapa ingin kaya, harus terlebih dahulu membangun jalan." Boleh percaya, boleh tidak, tetapi jika ditatap lebih rekat, jalan (tol) memang menjadi salah satu kunci keberhasilan China memacu ekonominya, memeratakan pembangunan, dan memajukan daerah-daerah terpencilnya.
Negeri itu membangun jalan tol sepanjang 2.145 km, dari kota paling timur Chengdu di Sichuan, sampai kota paling barat Lhasa di Tibet. Jarak sejauh itu hampir setara dengan jarak Banda Aceh – Semarang.
Di luar dampak negatifnya terhadap stabilitas sosial budaya masyarakat lokal, jalan tol membuat China bisa mengeksploitasi kemampuan ekonomi daerah sehingga menopang negeri itu menjadi raksasa ekonomi dunia.
Kini, suasana metropolis di kota-kota besar di provinsi-provinsi utama seperti Wuhan dan Guangzhou, meliputi pula kota-kota daerah seperti Xian atau Urumqi di Xinjiang. Ini ibarat Banda Aceh, Palembang atau Bandar Lampung yang kondisi kekotaannya relatif sama dengan Bandung atau Surabaya.
Bayangkan jika Indonesia mengadopsi cara China, Merak-Surabaya yang sejauh 842 km, Makasar-Manado yang berjarak 951 km, Banda Aceh-Bandar Lampung, atau Sorong-Jayapura yang jauhnya 1.200 km, dihubungkan oleh jalan tol.
Tak hanya jarak sosial budaya yang merapat, namun juga komunikasi bisnis lebih intensif, sementara arus distribusi barang dan jasa semakin lancar. Indonesia pun mungkin bisa lebih cepat memperpendek kesenjangan antar daerah.
Untuk sekarang itu mungkin mimpi, apalagi membangun jalan tol adalah kegiatan ekonomi yang membutuhkan investasi luar biasa besar. Tetapi jika tujuannya penyetaraan daerah sehingga ekonomi nasional disangga kuat-kuat oleh kemajuan daerah, membangun jalan sepanjang-panjangnya adalah keniscayaan.
Banyak bukti yang menunjukkan jalan tol turut memajukan ekonomi daerah dan mempersibuk kegiatan bisnis, bahkan transaksi sosial. Lihatlah Bandung pasca beroperasinya jalan tol Cipularang.
Sebelum jalan tol ini beroperasi, di mana perjalanan tercepat dari Jakarta ke Bandung memerlukan waktu 3 jam, Bandung belumlah semetropolis sekarang. Tetapi sekarang kota ini menjadi lebih sibuk, lebih banyak gedung menjulang, dan dikerumuni sentra-sentra bisnis seperti halnya Jakarta.
Situasi sama menggeliatnya terlihat di Madura, setelah jembatan tol Suramadu beroperasi.
Andai semua kota di Indonesia disambungkan oleh jalan tol sepanjang dan semegah di Jakarta dan Bandung, mungkin aktivitas sosial dan frekuensi bisnis menjadi sama kerapnya dengan kedua kota besar Indonesia itu. Tak itu saja, kegiatan produksi dan distribusi menjadi lebih efisien.
Sopir-sopir truk pengangkut hasil industri dan kreasi bisnis masyarakat yang rutin memakai jalur Merak - Cileunyi tak lagi harus mengeluarkan biaya-biaya tidak perlu untuk membayar pungli, sementara keluarga-keluarga nyaman bepergian karena tak terjebak macet. Dua hal itu lebih kecil kemungkinannya terjadi di jalan tol.
"Perjalanan melalui jalan tol Cipularang cuma dua jam sehingga saya bisa pulang lagi ke Bandung hari itu juga," aku Taufik Hidayat (39), warga Bandung yang kadang harus bolak balik Bandung – Jakarta dalam rangka bisnis.
Sejumlah usahawan di seputaran Bandung bahkan mengaku jarang lagi mengeluarkan uang banyak untuk pungli di jalan raya ketika harus mengantar barang ke kota tujuan seperti Jakarta, setelah jalan tol Purbaleunyi atau Cipularang beroperasi.
Pengakuan serupa diutarakan para sopir bus antar kota pemakai ruas tol Cipularang dan Merak – Cikampek yang tak lagi banyak mengeluarkan uang untuk pungli.
Sangat mahal
Ya, jalan tol telah membuat barang dan jasa terdistribusi lebih efisien dan tidak diganggu oleh hal-hal tidak perlu seperti macet karena jalan utama bertemu deretan jalan-jalan kecil seperti ada di sepanjang jalur Pantura atau Ciawi – Puncak.
Lebih dari itu, meski tetap diharuskan mengeluarkan uang untuk membayar jalan tol, uang yang dikeluarkan pengguna jalan tol lebih produktif ketimbang pungli.
Uang pungli masuk ke kantong sendiri, sementara uang tol teralokasi untuk merawat jalan dan membangun ruas-ruas baru. Jalan pun makin lancar, akses makin lebar, dan modal jelas berputar.
Sayang, panjang ruas tol di Indonesia baru 688 km atau 20 persen dari rencana 6.000 km jaringan tol senusantara. Selain itu, rasio jalan tol Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara Asia berekonomi maju.
Malaysia yang wilayahnya lebih sempit dari Indonesia saja mempunyai rasio 3.008 km per satu juta penduduk, sementara Indonesia hanya 126 km per satu juta penduduk. Angka ini bahkan ibarat noktah kecil jika dibandingkan dengan rasio jalan tol di Jepang yang 9.422 km per satu juta penduduk.
Wilayah Indonesia mencapai 1,9 juta km persegi dengan penduduk 229 juta orang, padahal wilayah Malaysia hanya 329,8 ribu km persegi dengan penduduk 28,3 juta jiwa. Mungkin akses jalanlah yang membuat kesenjangan antar daerah di Indonesia lebih lebar ketimbang Malaysia.
Masalahnya, membangun jalan tol adalah kegiatan ekonomi yang berat karena membutuhkan investasi yang luar biasa besar nan sangat mahal, mengingat risiko investasi jalan tol memang unik, sebab harus mempertimbangkan fluktuasi volume lalu lintas, kompensasi ganti rugi tanah, fluktuasi suku bunga dan inflasi, serta biaya konstruksi.
Para pakar mengungkapkan, pengembalian investasi jalan tol mencapai 25-35 tahun, padahal nilai investasinya triliunan rupiah. Jadi wajar, dengan risiko kompleks seperti itu dan masa pengembalian modal yang selama itu, mengundang investor masuk membangun jalan tol adalah pekerjaan teramat sulit.
"Investasi jalan tol itu besar dan berisiko, bisa mencapai Rp50-100 miliar per kilometer, jadi pengembalian investasinya bisa puluhan tahun," Kata Direktur Utama PT Jasa Marga Frans S. Sunito, Juli lalu.
Membebankan semua hal ke negara juga absurd, mengingat alokasi APBN lebih untuk sektor-sektor lain. Untuk itu, masyarakat dilibatkan mendanai operasi jalan tol dengan cara membayar tol.
Pengenaan tarif untuk jalan tol ini sendiri salah satunya untuk merangsang masuknya pemodal guna membiayai pembangunan jalan tol.
Ini juga dalam rangka jaminan terhadap investor mengingat investasi jalan tol sangat tergantung pada kelayakan-kelayakan finansial, terutama jaminan ketepatan waktu kembalinya modal, disamping tentunya ada aliran untung dari investasi.
Agar tetap atraktif
Dari konteks itu, kenaikan tarif tol, termasuk rencana pemerinah baru-baru ini menaikkan tarif tol 15 persen, bisa dipahami sebagai upaya mengkompensasikan ketidakpastian risiko investasi, apalagi sistem investasi jalan tol di Indonesia memang dikenal berisiko tinggi.
Tarif jalan tol itu sendiri mesti mempertimbangkan aspek-aspek seperti laju inflasi, suku bunga, biaya lahan dan biaya konstruksi, yang semuanya tidak bisa dipastikan atau masih berupa perkiraan.
Tak heran, karena tak bisa dipastikan, sifatnya holistik dan berorientasi publik, negaralah yang mengatur ketentuan mengenai tarif jalan tol.
Di sisi investor, tarif menjadi tak bisa lagi dipertahankan pada tingkat yang ada ketika pengembalian investasi lebih kecil dari biaya modal. Akibatnya, rangsangan untuk berinvestasi berkurang.
Oleh karena itu, selain demi memelihara jalan tol, kenaikan tarif ditempuh agar investasi jalan tol tetap atraktif. Lagi pula, seperti dikuatkan oleh perundang-undangan, jalan tol memang mesti diperbaiki secara periodik sesuai umurnya sehingga kenaikan tarif adalah hal rutin yang sudah semestinya ditempuh.
"Jadi jangan menganggap kenaikan tarif tol itu sesuatu yang menghebohkan," kata Frans Sunito.
Tetapi, menyertai kenaikan tarif itu, operator jalan tol tetap mesti terus menyempurnakan pelayanan, apalagi berdasarkan satu survei terhadap pengguna jalan tol yang dioperasikan Jasa Marga antara 15 Oktober 2008 - 12 Januari 2009, tingkat kepuasan konsumen hanya 3,66 alias tidak puas.
Jasa Marga sendiri, seperti dituturkan Direktur Operasional PT Jasa Marga Tbk, Adityawarman, Mei lalu di Bandung, terus memperbaiki kualitas layanan yang mengacu pada standar pelayanan minimalnya (SPM) diantaranya dengan memindahkan gerbang, melebarkan jalan dan mengenalkan e-toll card yang diklaim mampu mengurangi waktu transaksi hingga dua detik per transaksi tol.
Khusus e-toll card, di tengah kecenderungan enggannya pengguna jalan membayar tol dengan uang pas, e-toll menjadi amat penting.
Pada 20 Agustus 2009 misalnya, persoalan uang pas ini telah memaksa beberapa pintu tol di Jakarta ditutup sehingga akses menuju pintu tersumbat dan kemacetan pun tak terhindarkan, seperti terjadi di pintu tol Kemayoran hari itu. Pengguna jalan tol, diantaranya calon penumpang pesawat, pun dirugikan.
"Hangus deh tiket saya," kata Anwar Saleh yang hari itu pada pukul 10.30 WIB mestinya terbang ke Makasar dari Bandara Soekarno Hatta, namun gagal karena bus menuju bandara yang ditumpanginya terjebak macet di pintu tol Kemayoran gara-gara uang kembalian tadi.
Pengalaman ini setidaknya menjadi masukan bagi Jasa Marga dan operator jalan tol lainnya untuk terus mengembangkan inovasi-inovasi baru demi penyempurnaan layanan, atau memperluas aplikasi inovasi yang ada seperti e-toll card.
Jika inovasi dan peningkatan layanan selalu bersisian dengan meningkatnya kewajiban pada pengguna maka masyarakat pasti menaruh kepercayaan sangat tinggi pada operator, terlebih selama ini operator jalan tol seperti Jasa Marga umum dilihat telah berlaku benar dan transparan dalam mengelola jalan tol dan bisnisnya.
Bahkan, khusus Jasa Marga, keputusan Pefindo menetapkan peringkat obligasi PT Jasa Marga Tbk dengan AA minus dengan outlook stabil Juli lalu, adalah berarti lingkungan bisnis meyakini posisi dominan perusahaan dalam industri jalan tol dengan margin operasional usaha yang kuat.
Tentu ini seharusnya kian memudahkan operator seperti Jasa Marga dalam meyakinkan publik bahwa langkah-langkah bisnis seperti menaikkan tarif tol adalah demi profesionalitas yang ujung-ujungnya mempertinggi daya manfaat jalan tol sehingga bangsa turut dimajukan. (*)
Pewarta: Munawar Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009