Dubai (ANTARA News) - Krisis ekonomi global ikut memukul Timur Tengah, namun itu tidak mencegah kaum muslim di sana menyelenggarakan acara buka puasa bersama selama bulan suci ramadan ini, kendati dengan itu kaum muslim mesti mengencangkan anggaran belanjanya.
Namun untuk sejumlah kalangan, seperti di Jalur Gaza, hidup yang begitu melarat dan blokade Israel telah mengekang mereka menjalankan kebiasaan selama bulan ramadan itu.
Di kawasan kaya minyak di Teluk, pasar swalayan disesaki oleh pembelanja sejak awal ramadan pekan lalu, untuk berbelanja makanan dan minuman sebagai persiapan acara buka puasa bersama atau "iftar," kadang diselenggarakan di ruangan-ruangan mewah atau ballroom hotel.
Sejumlah kalangan membuat kekecualiaan meski anggaran cekak, karena ramadan bukan hanya masa untuk beribadah dan refleksi spiritual, namun juga ajang sosialisasi lewat berbagi makanan dengan keluarga dan handai taulan.
"Ini satu-satunya bulan saat semua keluarga berkumpul bersama untuk jamuan makan. Mereka tidak peduli pada krisis, mereka melupakan kesulitan-kesulitan mereka selama berkumpul," kata ibu rumah tangga asal Uni Emirat Arab, Umm Saeed, di Dubai.
"Orang saling mengundang untuk makan bersama, lebih sering selama bulan ini. Itu seperti mereka saling bersaing mengenai siapa yang paling banyak berbelanja dan memasak," lanjut Umm Saeed.
Mashael Mekki, seorang Sudan yang tinggal di Dubai berkata: "Makanan tetaplah makanan, tak peduli itu ada krisis ekonomi; orang tetap berbelanja dan memasak dengan jumlah sama seperti tahun lalu. Ini ramadan, semua orang lapar."
"Saya berbelanja barang-barang seperti tahun lalu, orang yang mengundang kami tahun lalu juga mengundang tahun ini," katanya.
Suasana sama berlaku di kalangan warga Qatar.
Mohammed al-Sada, pramuniaga berusia 32 tahun, mengatakan bahwa memangkas anggaran belanja adalah hal yang tak mungkin dilakukan, mengingat ramadan memiliki status istimewa.
"Ada barang yang mesti dibeli selama ramadan setiap tahun kendati saya harus tergantung kepada kartu kredit. Mungkin saya akan lebih hemat setelah bulan ini berakhir, demi mengatasi tekor, namun kami tidak siap mengubah kebiasaan kami selama ramadan," kata Mohammed.
Di tempat lain di Timur Tengah, dari Mesir, Suriah, dan Lebanon, hingga Yordania, kegiatan selama ramadan benar-benar menyibukkan.
Para pengunjung memenuhi kafe-kafe dan restoran-restoran, tinggal lebih lama di situ, menghisap rokok arah (shishas), minum teh atau menyantap yang manis-manis dan lezat, sambil berbincang dan bertukar kabar.
Namun di Jalur Gaza, dimana ofensif Israel tahun lalu membunuh ribuan orang dan memporakporandakan kawasan itu, ramadan mengingatkan orang pada kemelaratan yang menyiksa sebagai akibat dari blokade Israel.
Rashad Abu Aisha mengaku ramadan kali ini adalah yang terburuk yang keluarganya jalani karena begitu kekurangan, sementara harga-harga meroket di pasar.
"Perang telah mendekatkan kami ke penderitaan yang maha berat, ini lebih dari yang bisa kami hadapi," kata Rashad.
Sejak Hamas menguasai Gaza pada 2007, Israel dan Mesir telah mengisolasi daerah mereka dari suplai bahan baku.
Bahkan mereka yang rumah dan keluarganya tercerabut oleh perang menghadapi kemelaratan yang sama dan harga-harga yang membumbung tinggi, apalagi mereka sangat tergantung pada barang selundupan dari terowongan-terowongan melewati Mesir.
Akibatnya, kemeriahan ramadan yang membentang di jalan-jalan di kota-kota besar seluruh dunia Muslim, tidak dirasakan oleh warga Gaza.
Sami, pria 40 tahun beranak tujuh, mengatakan sedikit uang yang bisa saja dia gunakan untuk kemeriahan bersama, harus diperuntukkannya untuk biaya sekolah tahun pelajaran baru nanti.
"Warga Gaza tidak pernah tahu kapan bencana ini berakhir dan bagaimana mesti mengatasinya. Sebagian besar orang menganggur dan tanpa mata pencaharian," katanya.
Sementara para pemilik toko mengatakan bahwa meskipun mereka mampu memenuhi toko dari barang-barang yang diselundupkan lewat terowongan, pembelinya pasti sedikit.
Omong-omong, para pembeli di kawasan manapun mengeluhkan tingginya harga, sekalipun itu untuk sembako.
"Saya telah diingatkan bakal naiknya harga-harga bahan pokok, bahan makanan yang kami makan setiap hari seperti beras, sayuran, roti dan daging. Pedagang menaikkan harga barang-barang yang paling dibutuhkan oleh kami," kata Umm Khalifa di Dubai.
"Saya pikir kenaikan harga itu tidak adil karena mereka tahu selama ramadan kami berbelanja lebih banyak sehingga dengan cara ini mereka memaksa kami lebih keras mencari nafkah."
Keadaan ini umum terjadi di setiap ramadan, dan sebagian memang terjadi karena lebih tingginya permintaan. Dan selalu, pemerintah mengambil langkah-langkah untuk menekan kenaikan harga.
Contohnya, Menteri Keuangan UAE yang mengatakan bahwa mereka akan mengawasi pasar buah dan sayuran di Abu Dhabi selama ramadan untuk menjamin harga stabil.
Di Mesir lain lagi, krisis ekonomi telah menaikkan harga makanan utama selama ramadan, yaitu kurma.
Untuk menarik pembeli, para penjual menawarkan kurma dengan cara yang unik, misalnya ada kurma dengan merek nama Presiden AS Barack Obama, yang tahun ini menjadi kurma favorit di Mesir.
Kurma "Obama" ini dihargai sekitar 25 pound Mesir (sekitar Rp45.000) per kilogram.
Namun Mohammed, pemilik toko buah-buahan di kawasan Sayyeda Zeinad di Kairo mengatakan, orang tetap saja tak bisa membeli kurma sehingga dia mesti menurunkan lagi harga sampai seharga 15 pound. (*)
Sumber AFP/ disadur oleh Jafar Sidik
Oleh Ola Galal
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009