Kolombo (ANTARA News/AFP) - Sri Lanka hari Rabu membebaskan hampir 600 pendeta Hindu dan Katholik yang ditahan di kamp-kamp bersama penduduk etnik Tamil yang terlantar akibat perang antara pasukan dan gerilyawan separatis, kata sejumlah pejabat.

Para pendeta itu diizinkan meninggalkan kamp-kamp di distrik Vavuniya, Sri Lanka utara, dimana 300.000 orang yang masih ditahan dengan pengamanan ketat akan disaring untuk mencari sisa-sisa pemberontak Macan Tamil.

"Kami mengambil langkah-langkah untuk membebaskan para pendeta yang masih ada secepat mungkin," kata P.S. Charles, pegawai sipil senior di daerah itu.

Sebanyak 571 pendeta Hindu, enam pendeta Katholik dan dua biarawati dibebaskan, kata pegawai wanita itu, dengan menambahkan bahwa 220 orang lagi masih berada di kamp-kamp tersebut.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia lokal dan internasional telah mengungkapkan kaprihatinan atas nasib warga sipil yang ditahan di pusat-pusat penahanan yang padat, yang secara resmi disebut "desa keselamatan".

Hujan belum lama ini telah menggenangi sistem pembuangan air dan mencemari air sumur, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai penyebaran penyakit.

Musim hujan yang diperkirakan tiba pada Oktober akan memperburuk kondisi itu.

AS, yang memelopori kecaman-kecaman atas kematian warga sipil dalam ofensif final militer terhadap pemberontak Macan Tamil, juga menyuarakan kekhawatiran mengenai korban-korban yang terlantar.

PBB menyatakan, lebih dari 7.000 warga sipil mungkin tewas dalam lima bulan sebelum perang berakhir pada Mei dengan kekalahan Macan Tamil.

Pemerintah Sri Lanka pada 18 Mei mengumumkan berakhirnya konflik puluhan tahun dengan Macan Tamil setelah pasukan menumpas sisa-sisa kekuatan pemberontak tersebut dan membunuh pemimpin mereka, Velupillai Prabhakaran.

Pernyataan Kolombo itu menandai berakhirnya salah satu konflik enik paling lama dan brutal di Asia yang menewaskan puluhan ribu orang dalam berbagai pertempuran, serangan bunuh diri, pemboman dan pembunuhan.

Macan Tamil juga telah mengakui bahwa Velupillai Prabhakaran tewas dalam serangan pasukan pemerintah Sri Lanka.

Juga dinyatakan tewas dalam operasi final militer adalah dua deputi Prabhakaran -- pemimpin Macan Laut Kolonel Soosai dan kepala intelijen LTTE Pottu Amman.

Tokoh penting lain Macan Tamil yang juga tewas adalah putra Prabhakaran dan calon penggantinya, Charles Anthony (24), pemimpin sayap politik B. Nadesan dan pemimpin Sekretariat Perdamaian LTTE yang sudah tidak berfungsi lagi, S. Pulideevan.

Presiden Sri Lanka Mahinda Rajapakse telah beberapa kali mendesak pemberontak Macan Tamil menyerah untuk menghindari pembasmian total.

Rajapakse, yang juga panglima tertinggi angkatan bersenjata, juga menolak seruan-seruan bagi gencatan senjata dan menekankan bahwa Macan Tamil harus meletakkan senjata dan mengizinkan warga sipil keluar dari daerah-daerah yang masih mereka kuasai.

Sebelum dikalahkan total, gerilyawan Tamil dikepung selama berbulan-bulan di sebuah daerah hutan kecil oleh pasukan yang hampir mengakhiri perang separatis mereka.

Macan Tamil mengakui telah kehilangan sejumlah wilayah dalam pertempuran dengan pasukan pemerintah dan menuduh Kolombo membunuhi warga sipil.

Militer membantah hal itu dan mengatakan, warga sipil yang melarikan diri ditembaki oleh pemberontak yang ingin menahan penduduk desa sebagai tameng manusia.

Pertempuran antara pasukan pemerintah dan pemberontak LTTE meningkat sejak pemerintah secara resmi menarik diri dari gencatan senjata enam tahun pada Januari 2008.

Pembuktian independen mengenai klaim-klaim jumlah korban mustahil dilakukan karena pemerintah Kolombo melarang wartawan pergi ke zona-zona pertempuran.

Lebih dari 70.000 orang tewas dalam konflik separatis panjang di Sri Lanka sejak 1972.

Sekitar 15.000 pemberontak Tamil memerangi pemerintah Sri Lanka dalam konflik etnik itu dalam upaya mendirikan sebuah negara Tamil merdeka.

Masyarakat Tamil mencapai sekitar 18 persen dari penduduk Sri Lanka yang berjumlah 19,2 juta orang dan mereka terpusat di provinsi-provinsi utara dan timur yang dikuasai pemberontak.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009