Ulan Bator (ANTARA News/Reuters) - Rusia tidak akan pernah membatalkan keputusannya mengakui Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai negara-negara yang merdeka dari Georgia, kata Presiden Dmitry Medvedev, Rabu.

Kremlin mengakui kemedekaan wilayah-wilayah separatis yang didukung Moskow itu pada 26 Agustus tahun lalu, beberapa pekan setelah pasukan Rusia mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan.

Georgia menyatakan, perang itu dan pengakuan Moskow terhadap wilayah-wilayah tersebut sebagai negara merdeka merupakan pencaplokan atas wilayah kedaulatannya.

"Saya tidak menyesali keputusan itu," kata Medvedev kepada wartawan selama kunjungan kenegaraan ke ibukota Mongolia, Ulan Bator. "Bagi negara kami, keputusan ini tidak bisa dibatalkan."

Moskow menyatakan, pengakuan itu merupakan bagian dari upaya melindungi penduduk Rusia di kedua provinsi tersebut, yang memisahkan diri dari kekuasan pusat Georgia dalam perang pada 1990-an.

Negara-negara lain dunia, kecuali Nikaragua, masih menganggap kedua wilayah itu sebagai bagian dari Georgia, meski Moskow mendesak sekutu-sekutunya memberikan pengakuan mereka.

Kementerian Luar Negeri Rusia hari Selasa menyeru lagi negara-negara dunia agar mengakui Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai negara-negara merdeka dengan mengatakan, pengakuan itu merupakan satu-satunya cara untuk menjamin perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Moskow menempatkan ratusan prajurit di masing-masing wilayah itu.

Peringatan pengakuan sebagai negara merdeka oleh Moskow itu ditetapkan hari libur baik di Abkhazia maupun Ossetia Selatan, dan konser serta pesta kembang api direncanakan digelar.

Pasukan Rusia memasuki Georgia untuk mematahkan upaya militer Georgia menguasai lagi Ossetia Selatan pada 7-8 Agustus 2008. Perang lima hari pada Agustus itu meletus ketika Tbilisi berusaha memulihkan kekuasannya dengan kekuatan militer di kawasan Ossetia Selatan yang memisahkan diri dari Georgia pada 1992, setelah runtuhnya Uni Sovyet.

Georgia dan Rusia tetap berselisih setelah perang singkat antara mereka pada tahun lalu itu. Hubungan Rusia dengan negara-negara Barat memburuk setelah perang tersebut.

Selain Ossetia Selatan, Abkhazia juga memisahkan diri dari Georgia pada awal 1990-an. Kedua wilayah separatis itu bergantung hampir sepenuhnya pada Rusia atas bantuan finansial, militer dan diplomatik.

Georgia tetap mengklaim kedaulatan atas kedua wilayah tersebut dan mendapat dukungan dari Barat.

Ossetia Selatan pada 11 Maret menyatakan akan mengizinkan pasukan Rusia menggunakan wilayah tersebut untuk pangkalan militer selama 99 tahun.

Pemimpin Abkhazia Sergei Bagapsh juga mengatakan sebelumnya pada Maret, provinsi itu akan segera menandatangani sebuah perjanjian yang mengizinkan Rusia membangun sebuah pangkalan di wilayah separatis lain Georgia itu untuk kurun waktu 49 tahun.

Rencana Rusia untuk tetap menempatkan ribuan prajurit di Abkhazia dan Ossetia Selatan telah membuat marah Tbilisi dan sekutu-sekutu Barat-nya, yang mengatakan bahwa hal itu melanggar gencatan senjata yang mengakhiri perang.

Pengakuan Moskow atas kemerdekaan kedua wilayah itu menyulut kecaman dari Georgia dan banyak negara Barat.

Rusia meresmikan pengakuannya atas kemerdekaan kedua wilayah Georgia yang memisahkan diri itu, Ossetia Selatan dan Abkhazia, pada 16 Januari ketika Presiden Dmitry Medvedev menerima duta-duta besar pertama mereka yang bersanding sejajar dengan para duta besar dari negara anggota NATO.

Nikaragua memberikan "pengakuan penuh" kepada republik-republik Abkhazia dan Ossetia Selatan sebagai "anggota baru komunitas negara merdeka dunia".(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009