"Kami hanya mengingatkan DPR agar tidak berburu-buru untuk mengesahkan undang-undang yang menyangkut masa depan khalayak umum dan bangsa ini," kata artis senior dan produser film Christine Hakim dalam jumpa pers Komunitas Perfilman Indonesia mengenai RUU Perfilman di Jakarta, Rabu.
Christine mengatakan Komunitas Film Indonesia bukan menentang pemerintah dan undang-undang perfilman, akan tetapi banyak hal yang perlu dirembug bersama dengan pemangku kepentingan film Indonesia dalam RUU Perfilman.
"Tidak ada yang perlu dikejar (dalam mengesahkan RUU Perfilman," kata Christine yang menangkap ketergesaan DPR untuk mengesahkan UU Perfilman menjelang berakhirnya masa jabatan anggota parlemen tersebut.
Senada dengan Christine, aktor dan sutradara Deddy Mizwar juga mengatakan agar DPR tidak terburu-buru untuk mengesahkan RUU Perfilman pengganti UU No.8/1992 tentnag Perfilman tersebut.
"(Bila disahkan) UU Perfilman ini akan membunuh industri film sendiri," katanya.
Mewakili Komunitas Perfilman Indonesia, sutradara Riri Riza mengatakan mereka mendukung inisiatif untuk mengubah UU No.8/1992 tentang Perfilman dengan beberapa syarat seperti pembahasan substansi dalam RUU Perfilman dan agar mereka lebih dilibatkan dalam pembahasan.
"Kami telah menyampaikan masukan baik lisan maupun tertulis untuk menghasilkan Undang-undang Perfilman yang menjamin pertumbuhan perfilman Indonesia yang lebih baik namun ternyata hingga saat ini belum diakomodir seluruhnya," katanya.
Riri mengatkan segala bentuk penolakan akomodasi atas masukan Komunitas Perfilman Indonesia sampai saat ini tidak dinyatakan secara terbuka dan tanpa argumentasi yang jelas.
"Kami meminta Komisi X DPR untuk menyosialisasikan setiap tahap pembahasan RUU Perfilman sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik," katanya.
Tindakan sosialisasi ini harus dilakukan dengan menyediakan waktu yang cukup agar para pemangku kepentingan dapat memberikan pertimbangannya.
"Komisi X DPR RI agar tidak terburu-buru mensahkan RUU ini walaupun masa baktinya segera berakhir sebab undang-undang harus dapat menjawab tantangan jangka panjang," katanya.
Komunitas Perfilman Indonesia melihat naskah RUU Pefilman saat ini belum secara spesifik mencantumkan kewajiban pemerintah dalam memfasilitasi kemajuan pendidikan perfilman dan secara sistematik memberikan insentif langsung bagi industri film Indonesia.
"Padahal dua faktor itu menjadi kunci dalam pengembangan perfilman nasional," kata Riri.
Peran negara dalam RUU ini menunjukkan instensi pengekangan melalui birokrasi perfilman yang tidak mencerminkan semangat membangun industri kreatif yang sedang diupayakan pemerintah.
Riri membacakan pernyataan tersebut atas nama Komunitas Perfilman Indonesia yang antara lain terdiri dari Abdul Aziz (dosen IKJ), Alex Sihar (pengelola festival dan komunitas), Chand Parwez Servia (produsen film), Christine Hakim (aktris dan produser film), Deddy Mizwar (aktor dan sutradara), Farishad I Latjuba (sutradra).
Juga terdapat Garin Nugroho (sutradara), Lalu Roisamri (pengelola festival), Lisabona Rahman (Kritikus dan pengelola bioskop non profit), Mira Lesmana (produser film), Nia Dinata (produser dan sutradara), Prima Rusdi (penulis skenario), Shanty Harmayn (produser), Slamet Rahardjo Djarot (aktor dan sutradara), Riri Riza (sutradara dan dosen) dan Zairin Zain (produser).(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009