New York (ANTARA News) - Komisaris Tinggi PBB urusan HAM, Navi Pillay, menyambut baik keputusan Jaksa Agung AS menunjuk seorang jaksa yang menyelidiki kemungkinan pelanggaran hukum oleh para pejabat dan agen badan intelijen AS (CIA) dalam menginterogasi tahanan di luar AS, termasuk di Teluk Guantanamo, Kuba.

"Saya menyambut baik keputusan Pemerintah AS yang penuh tanggung jawab ini untuk membuka kembali penyelidikan awal," kata Navi Pillay seperti dilaporkan Markas Besar PBB, New York, Selasa waktu setempat.

Jaksa Agung AS Eric Holder, Senin waktu AS, menunjuk jaksa veteran John Durham sebagai jaksa khusus yang akan memeriksa para pejabat dan agen dinas rahasia AS, Central Intelligence Agency.

Durham akan mengungkap tabir apakah mereka melanggar hukum atau tidak ketika menginterogasi para tersangka teroris yang ditahan di penjara-penjara yang dikendalikan AS di luar negeri.

Pillay berharap pemeriksaan akan berlangsung dengan cepat agar berbagai tuduhan soal terjadinya penyiksaan akan segera terungkap kebenarannya. Tudingan diajukan para bekas tahanan maupun mereka yang masih ditahan di Guantanamo serta pusat-pusat penahanan lainnya di luar AS.

Jika tuduhan itu terbukti, ujar Pillay, maka langkah berikutnya adalah membuat siapa pun yang melanggar hukum mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Pillay mengatakan bahwa apa yang menjadi perhatiannya sejak lama adalah "jangan sampai ada pengampunan bagi mereka yang melakukan penyiksaan atau perlakuan lainnya yang melanggar hukum terhadap para tahanan, baik di AS maupun di semua belahan dunia mana pun.

"Sekarang kita dihadapkan pada apa yang terjadi di Guantanamo, dan di tempat lain seperti penjara Abu Ghraib di Irak dan pangkalan udara Bagram di Afghanistan. Kita masih perlu kejelasan mengenai tempat-tempat penahanan rahasia dan apa yang terjadi di dalamnya," kata Pillay.

Pillay menegaskan, penggunaan tempat tahanan rahasia harus dikendalikan dan mendesak agar nama-nama tahanan yang saat ini berada di pusat-pusat penahanan itu diungkapkan.

"Kerahasiaan telah menjadi sebuah masalah besar bagi rejim yang memiliki jenis penahanan seperti ini. Jika para penjaga dan petugas interogasi menganggap bahwa mereka aman dari pemeriksaan ketat dan dapat mengakali perlindungan hukum, maka hukum menjadi terlalu gampang untuk diinjak-injak," katanya.

Komisaris Tinggi PBB untuk HAM itu juga menyambut keputusan AS untuk membebaskan Mohammad Jawad, warga Afghanistan yang dijadikan tahanan pada tahun 2002, saat ia masih berumur 12 tahun.

Sebagian tuduhan yang dikenai terhadapnya pada tahun 2008 dinyatakan tidak dapat diterima. Karena itu, pengadilan distrik di AS bulan lalu memerintahkan agar ia dibebaskan dari Guantanamo.

"Saya senang mendengar kabar bahwa hari Senin Mohammad Jawad sudah diizinkan kembali kepada keluarganya di Afghanistan," kata Pillay.

"Perlu waktu yang sangat panjang (sebelum Jawad dibebaskan, red), tapi begitu sistem peradilan AS berjalan dengan semestinya, dalam hal ini, keadilan akhirnya dicapai," tambahnya.

Ia mengingatkan agar Mohammad Jawad dan mereka yang telah lama ditahan tanpa pembenaran --tanpa tuduhan yang dapat dibuktikan, atau mereka yang disiksa dan diperlakukan sewenang-wenang, perlu diberi kompensasi atau pemulihan lainnya.

Kompensasi dan pemulihan diperlukan karena orang-orang tersebut telah kehilangan masa tujuh tahun dalam hidup mereka.

Mereka juga kemungkinan telah mengalami gangguan secara psikologis, fisik dan keuangan --hanya karena mereka berada di tempat yang salah dan pada saat yang salah, demikian menurut Pillay.

Pillay juga menegaskan kembali dukungannya terhadap komitmen Presiden AS Barack Obama untuk menutup kamp Guantanamo pada 2010 dan meminta Obama untuk segera meninjau ulang status para tahanan di pusat penahanan Bagram di Afghanistan.

Tersangka teroris bom Bali 2002 dan pemimpin Jamaah Islamiyah, Hambali alias Ridwan Isamudin --yang kerap disebut-sebut sebagai warga negara Indonesia, disebut-sebut masih berada di penjara pangkalan angkatan laut AS di Teluk Guantanamo sejak ia ditangkap di Thailand pada Agustus 2003.

Selain status hukum, status kewarganegaraan Hambali juga ternyata masih belum jelas.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI)-Deplu RI, Teguh Wardoyo, pada Maret 2009 menyebutkan bahwa saat ditangkap di Thailand tahun 2003, Hambali tidak tercatat sebagai warga negara Indonesia.

Paspor yang dipegang Hambali adalah paspor yang dikeluarkan Spanyol.

Menurut Teguh, kendati kelahiran Jawa Barat, Hambali juga tidak mengaku bahwa dirinya sebagai warga negara Indonesia. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009