Jakarta (ANTARA News) - Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Fahmi Badoh meminta masyarakat mengawasi kemungkinan adanya praktik suap dan kompromi-kompromi saat uji kepatutan dan kelayakan anggota Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) yang akan dilakukan DPR.
"Perlu diawasi," kata Fahmi Badoh di Jakarta, Selasa, saat diminta tanggapan rencana "fit and proper test" (uji kelayakan dan kepatutan) terhadap 50 nama yang mendaftar sebagai calon anggota BPK oleh Komisi XI DPR RI mulai 7 September 2009.
Ia mengatakan, kemungkinan proses-proses kompromi dan suap tersebut bisa terjadi di awal proses seleksi dan di tingkat akhir. Jika hal tersebut terjadi, katanya, maka perlu diambil tindakan hukum terhadap yang terlibat.
Untuk itu, kata Fahmi, ICW meminta agar DPR melakukan seleksi secara transparan sehingga masyarakat mengetahui jalannya seleksi.
Ia mengatakan, kriteria yang digunakan selama seleksi harus jelas sehingga calon yang terpilih memang memenuhi kriteria tersebut.
Selain itu, katanya, setelah nama-nama calon anggota BPK dipilih, DPR juga perlu mengumumkan secara terbuka mengapa mereka dipilih, misalnya berapa nilai yang diperoleh dan juga kemampuannya.
"Kenapa dipilih si A, si B, dan lainnya. Perlu mekanisme uji publik," katanya.
ICW, katanya, juga sudah menelusuri rekam jejak pendaftar yang mengikuti proses seleksi calon anggota BPK. Hasilnya sedikitnya 29 calon diduga bermasalah. Nama-nama tersebut sudah diserahkan ke Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan juga ke DPR.
Sebelumnya, saat memberikan 29 nama tersebut ke DPD, anggota Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho mengatakan, dalam syarat pendaftaran disebutkan bahwa calon anggota BPK tidak menjabat sebagai pejabat di lingkungan keuangan negara selama dua tahun.
Selain itu, sebagai anggota calon BPK hendaknya harus memiliki kompetensi dan profesionalitas serta bebas dari berbagai kepentingan, karena proses seleksi dilakukan oleh DPR yang notabene sebagai lembaga politik.
Ia mengatakan, untuk menghasilkan calon bersih dan terbuka hendaknya sejumlah calon yang berlatar belakang anggota partai politik, pejabat maupun pengurus parpol harus dicoret.
Hal ini penting kata Emerson, karena BPK merupakan lembaga mandiri yang bertugas memeriksa pengelolaan keuangan negara.
Sebelumnya, DPD juga melakukan "fit and proper test" terhadap calon anggota BPK tersebut, untuk selanjutnya hasilnya sebagai bahan pertimbangan DPR.
Hasilnya Panitia Ad Hoc IV DPD telah menetapkan tujuh nama yang sangat direkomendasikan ("highly recommended") dari 14 nama yang direkomendasikan sebagai anggota BPK.
Tujuh nama calon anggota DPD yang "sangat direkomendasikan" DPD itu adalah Syafri Adnan Baharuddin (mantan Direktur Pengawasan Keuangan Daerah BPKP), Sugiharto (mantan Menteri Negara BUMN), Soepomo Prodjoharjono (anggota Tim Pedoman Pemeriksaan BPK), Djoko Susanto (dosen Universitas Padjajaran dan UGM), Bambang Pamungkas (Direktur Fasilitas Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Depdagri).
Dua lainnya adalah Teuku Radja Sjahnan (konsultan publik financial management World Bank), dan Daeng Mochamad Nazier (Kepala Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi, Penelitian, dan Pengembangan BPK).
Komposisi pelamar anggota BPK adalah 8 orang dari dalam DPR, 16 orang dalam BPK, 3 pensiunan, 1 BIN, 1 Akuntan, 4 dosen, 1 guru, 1 staff ahli wapres, 1 BPS, 1 ex menteri, 2 ex pimpinan KPK, 2 Depdagri, 1 LIPI, 1 KPPN, 2 konsultan, 1 Staf Ahli DPR/Ex BPK dan 5 swasta.(*)
Pewarta: Luki Satrio
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009