Jakarta (ANTARA News) - Dalam pidato pembukaan masa persidangan I tahun 2009/2010 di Gedung DPR Jakarta beberapa waktu lalu, tidak biasanya Ketua DPR Agung Laksono secara khusus menekankan kepada perbankan nasional agar merespons penurunan suku bunga acuan "BI rate" dengan menurunkan suku bunga di banknya masing-masing.
Tampaknya pimpinan parlemen negeri ini juga "gregetan" dengan sikap perbankan yang "ogah-ogahan" menurunkan bunga banknya, baik deposito maupun kreditnya, meski sudah diberi sinyal BI rate yang turun signifikan dalam delapan bulan terakhir ini.
Bank Indonesia (BI) sejak Desember 2008 hingga Agustus 2009 telah menurunkan BI rate sebesar 300 basis poin (tiga persen), dari 9,5 persen menjadi 6,5 persen. Namun sayangnya respons berupa penurunan suku bunga kredit masih sangat lambat yakni kurang dari satu persen.
Bahkan untuk deposito, perbankan masih mematok suku bunga "spesial" untuk sebagian deposan besarnya atau " kakap" sekitar 10 persen, jauh di atas bunga penjaminan yang ditetapkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebesar 7,00 persen.
"Penurunan BI rate selama 2009, tidak mampu mendorong bunga perbankan untuk turun, sehingga bunga perbankan masih tinggi. Masih tingginya bunga perbankan tersebut pada akhirnya membuat sektor riil sulit untuk bergerak," tandas Agung Laksono.
Bahkan sebelumnya DPR beberapa kali telah memanggil perbankan dan Bank Indonesia (BI) untuk membahas penurunan BI rate yang belum diikuti penurunan suku bunga bank tersebut. Namun hasilnya belum ada yang merespons.
"Masyarakat masih dibebani dengan bunga yang lama. Bank-bank masih belum menurunkan suku bunganya," ungkap Ketua DPD Asosiasi Pengembang dan Permukiman Perumahan Seluruh Indonesia (Apersi) Sulawesi Selatan Irianto Ahmad.
Irianto Ahmad meminta perbankan memangkas suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) hingga mendekati 10 persen, sementara saat ini suku bunga KPR berkisar 12-13 persen.
Menurut data BI pada Juni, bunga kredit untuk modal kerja sebesar 12,9 persen, bunga kredit investasi sebesar 12,23 persen dan konsumsi sebesar 15,14 persen.
Kalangan perbankan sendiri "membela "keputusannya mengapa sulit bunga kredit bank turun karena dipengaruhi oleh kondisi ekonomi yang dirasa masih memiliki risiko ketidakpastian dan masih tingginya bunga deposito yang diminta oleh nasabah.
Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas), Sigit Pramono, menuding pada biaya dana (cost of fund) yang masih dirasa tinggi akibat para pemegang dana "kelas kakap" masih menginginkan bunga tinggi untuk penempatan dananya.
Di sisi lain, lanjutnya, pemerintah secara agresif juga menerbitkan berbagai instrumen keuangan seperti Surat Utang Negara (SUN) dan Sukuk dengan bagi hasil yang tinggi.
"Saat ini diperlukan kerelaaan semua pihak, ya para pemegang dana jangan meminta bunga tinggi. Bank juga jangan mengeruk NIM (net interest margin/selisih bunga simpanan dan kredit) tinggi, sementara pemerintah jangan menerbitkan SUN (Surat Utang Negara) dengan imbal hasil yang tinggi," kata Sigit.
Dalam ungkapan Direktur BNI Bien Subiantoro," Saat ini seperti `game`.
Tidak ada yang berani mendahului (penurunan bunga), karena kalau mendahului bisa "mati", takut terjadi "rush" (nasabah berbondong lari memindahkan simpanan ke bank lain, red.). Jadi sama-sama bertahan, tak ada yang mau turun."
Harapan dari Kesepakatan
Setelah lebih dari separuh pertama tahun 2009, tak ada kepastian penurunan bunga bank, pada pekan lalu secercah harapan muncul menyusul adanya kesepakatan 14 bank utama yang menguasai asset perbankan di tanah air sekitar 80 persen.
14 bank yang bersepakat tersebut meliputi Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, CIMB Niaga, Danamon, Permata, BII, BCA, OCBC NISP, UOB Buana, Bukopin, Mega dan Panin.
Deputi Gubernur BI Budi Mulya mengatakan, kesepakatan tersebut mulai berlaku saat ini (21/8) untuk tiga bulan mendatang.
Dari kesepakatan itu , dalam waktu tiga bulan atau 90 hari ke depan suku bunga akan turun hingga berada 150 basis poin (bps) di atas BI rate.
Jadi, memasuki bulan keempat terhitung sejak 1 September 2009, BI mengharapkan suku bunga simpanan perbankan berada pada tingkat 50 basis poin di atas BI Rate atau maksimal tujuh persen.
Untuk mengantisipasi risiko tekanan penurunan itu, maka BI memperpanjang fasilitas gadai surat berharga (repo) perbankan dari sebelumnya hanya 30 hari menjadi lebih panjang untuk menjaga likuiditas perbankan.
"Bank kalau butuh likuiditas tidak harus melepas "secondary reserve" (cadangan sekunder) yg terdiri atas SUN dan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) itu dijual secara putus. Tapi itu bisa di-repo-kan (gadai) ke BI lalu dia mendapat likuiditas yang saat ini hanya 30 hari, ini akan diperpanjang 3 bulan," katanya.
Bagi bank , fasilitas BI ini memberi keyakinan dalam hal terjadinya kondisi tertekan bila ada deposan yang minta bunga tinggi dan mengancam pergi, bank bisa ke BI untuk ambil fasilitas repo tiga bulan.
Di antara bank-bank sendiri, kesepakatan bersama 14 bank untuk menurunkan suku bunga, membuat masing-masing bank tidak khawatir terjadinya perpindahan dana (rush) antarbank.
"Kalau semua bank melaksanakan kesepakatan dengan prinsip bankir "my words is my bond", maka berarti tidak akan ada perpindahan dana antara 14 bank besar karena faktor ini, sehingga DPK (dana pihak ketiga) relatif tetap," kata Direktur BNI Bien Subiantoro.
Kepada Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan, Deputi GUbernur Senior BI Darmin Nasution mengharapkan, penurunan bunga deposito tersebut mendorong imbal hasil SUN untuk penerbitan mendatang juga turun.
"Karena tingkat bunga deposito kita tekan turun, mereka yang punya uang besar bisa minta "yield" yang tinggi di tempat lain. Karena itu kita dorong turun, maka untuk penerbitan baru tentu saja tidak akan setinggi sebelumnya lagi," katanya.
Terkait pengawasan, sebagai pemegang otoritas BI berjanji untuk mengawasi kesepakatan 14 bank untuk memangkas suku bunga banknya.
"Artinya kita akan awasi dan dorong kesana (penurunan bunga). Siapa yang tidak mematuhinya , pasti kita tahu, karena data hari per hari itu kita punya. Itu bisa kita pakai," tandas Darmin.
Namun tujuan utama di balik penurunan itu sesungguhnya semua pihak mengharapkan perbankan bisa ikut dalam mengakselerasi pertumbuhan kredit di tahun 2010 sehingga sektor riil bergerak lebih cepat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah sendiri, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengharapkan pertumbuhan kredit dari perbankan mencapai 15-20 persen untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Sebab di 2010, meski investasi tumbuh dan membaik kembali, belum pulih seperti 2008.
Artinya, hasil nyata kesepakatan 14 bank berupa bunga bank turun secara proporsional sesuai isyarat BI rate memang benar-benar ditunggu semua pelaku usaha, otoritas moneter, pemerintah, bahkan parlemen negeri ini untuk peningkatan perekonomian di tanah air.(*)
Oleh Oleh Zaenal Abidin
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009