Mengenai besaran kenaikannya, hingga kini ia belum bisa memastikan. Namun, usulan kenaikannya Rp100,00 per kilogram per bulan.
"Sebenarnya, harga elpiji bisa stabil apabila crude (minyak mentah) yang dipasok sesuai karakteristik pasar dan tidak ada anomali kebutuhan konsumen," ujarnya.
Disamping itu, kata dia, mengingat karakteristik pasar tidak bisa ditebak dan kadang terjadi hal-hal diluar prediksi, misalnya, kerusakan pada kilang minyak, sehingga itu mempengaruhi biaya produksi.
"Contohnya, saat kami sudah memperkirakan menjelang Lebaran konsumsi solar, premium, dan avtur naik, sementara kami mendorong sejumlah kilang untuk terus produksi, ternyata beberapa rusak. Secara otomatis, hal itu mempengaruhi produksi minyak di kilang lain," katanya.
Mengenai upaya mengoptimalkan pasokan minyak, ia mengaku, Pertamina akan merevitalisasi kilang di Lawelawe, Kalimantan Timur. Lagkah tersebut diambil, karena kebutuhan pasar domestik saat ini lebih besar dari suplai Pertamina.
"Untuk memenuhi permintaan pasar, kami harus impor 35 persen `crude oil` di antaranya dari Timur Tengah, Brunei Darussalam, Afrika, dan Australia," katanya.
Sampai saat ini, lanjut dia, kontribusi suplai minyak nasional didukung oleh RU IV Cilegon 30,4 persen, RU V Balikpapan 25,5 persen, RU II Dumai 17,2 persen, RU VI Balongan 13,7 persen, dan sisanya RU III Musi 13,2 persen.
"Namun, selama ini suplai ke Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi dipasok dari RU V Balikpapan berkapasitas 260.000 barel per hari," katanya. (*)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009