Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia mendukung suatu seruan bersama untuk sebuah kemurahan sikap sehingga apa yang telah diputuskan pengadilan Myanmar terhadap tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi dapat diubah.

Hal itu dikemukakan oleh Juru Bicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah di Jakarta, Jumat, saat diminta pendapatnya mengenai sikap Indonesia atas keputusan pengadilan Myanmar.

"Sikap kita jelas, kiat mendukung suatu kemurahan sikap sehingga sehingga apa yang telah diputuskan oleh pengadilan Myanmar terhadap tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi dapat diubah, dan nantinya dikembalikan kepada Suu Kyi apakah akan terlibat dalam pemilu atau tidak," ujarnya.

Menurut Faiza, jika pada nantinya seruan bersama yang sedang dibahas oleh ASEAN mengarah pada hal itu maka Indonesia akan dengan senang hati bergabung.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Indonesia sebagai negara sahabat yang memiliki banyak kesamaan sejarah dengan Myanmar sangat mendorong Myanmar untuk melakukan perubahan internal daripada perubahan dengan tekanan dari luar.

Sebelumnya Pemerintah Indonesia telah menyatakan kekecewaannya atas keputusan pengadilan pidana Myanmar, yang menjatuhkan hukuman 18 bulan tahanan rumah terhadap tokoh pro-demokrasi Aung San Suu Kyi.

Lama hukuman tersebut dapat menghindarkan kesertaan Aung San Suu Kyi dalam pemilihan umum pada 2010.

Pada Selasa (11/8), pengadilan di penjara Insein, Yangon, menghukum peraih Nobel Perdamaian itu tiga tahun penjara dan kerja paksa, karena melanggar syarat penahanan-rumahnya setelah kejadian melibatkan seorang Amerika Serikat. Pria itu berenang ke kediamannya di tepi danau pada Mei lalu.

Tapi, Than Shwe, pemimpin penguasa, menandatangani keputusan memperingan hukuman itu dan mengizinkan Suu Kyi menjalankan hukuman tahanan rumah satu setengah tahun setelah terbukti bersalah.

Warga Amerika Serikat John Yettaw (54 tahun), yang datang ke rumahnya, dihukum tujuh tahun kerja paksa.

Aung San Suu Kyi berada di tahanan rumah selama 14 tahun dari 20 tahun ia ditahan sejak penguasa Myanmar menolak mengakui kemenangan partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinannya menang dalam pemilihan umum pada 1990.

Penentang menuduh penguasa menggunakan tuduhan itu sebagai alasan untuk tetap mencegahnya ikut dalam pemilihan umum pada 2010, khususnya karena vonis itu disampaikan hanya beberapa hari sebelum masa terakhir dari penahanan rumahnya berakhir.

Tentara memerintah negara itu dengan tangan besi sejak 1962. Perkara itu menimbulkan kecaman antarbangsa terhadap penguasa Myanmar, yang sudah dikenai hukuman keras oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009