Jakarta, (ANTARA News) - Mengapa tim berjuluk Setan Merah yang nota bene jawara 11 kali Liga Primer kalah 0-1 dari tim gurem Burnley? Jawabnya, Manchester United (MU) menghadapi krisis kontemplasi ketika menapak awal musim kompetisi 2009/2010.

"Pengalaman Gurun" menerpa para punggawa asuhan Sir Alex Ferguson. Inti dari kontemplasi: menilik diri dan menggugat diri.

Pada Rabu (19/8), Stadion Turf Moor begitu bertuah bagi Burnley. Sebaliknya, MU serta merta bersua dengan skeptisisme berbunyi, melawan tim promosi saja kurang greget, apalagi menghadapi Chelsea, Arsenal dan Liverpool? Kalah tetaplah kalah, meski mereka yang mengusung energi positif menghibur diri dengan berujar "masih ada hari esok".

Yang diperlukan MU bukan sebatas kontemplasi tetapi tekad untuk bersinambung dan berdamai dengan masa lampau kemudian bernazar, "saya tidak akan mengulangi kekeliruan yang sama". MU memerlukan rekonsiliasi sebagai penebusan menuju kemerdekaan hati bening.

Rekonsiliasi sama dan sebangun dengan menyediakan tempat dalam hati untuk datangnya hari yang buruk. Terimalah kenyataan buruk dan bersegeralah berdamai dengan sesama dan berterima bagi siapa saja. Dengan menggendong rekonsiliasi, skuad MU terlahir sebagai manusia baru dalam anyaman jaman.

Baik kontemplasi maupun rekonsialiasi melahirkan manusia baru yang menerima segala sesuatu dalam suka dan duka sebagai akar dari pohon kehidupan. Legiun Setan Merah hendaknya tidak membuai dan menghibur diri dengan jargon murahan berlogat Jakarta, "Ngapain ngapain berargumentasi dan ngapain kritis".

Musuh dari semangat rekonsialisasi dan seteru dari jiwa kontemplasi adalah mentalitas menerabas atau ingin memperoleh hasil instan. MU ingin tampil sebagai sosok sejati.

Garis evolusinya? Menit ke-19, kompi MU terhenyak oleh tendangan voli dari Robbie Blake. Gawang Ben Foster terkoyak gol semata wayang. Alhasil terpecahlah kontemplasi pendukung Setan Merah.

Permainan ekstra bertahan dapat membendung derasnya arus serangan MU. Menit ke-45, ada tendangan penalti untuk Setan Merah. Nyatanya, Michael Carrick gagal mengeksekusi karena kiper Burnley Brian Jensen mengumbar tekad baja. Nyatanya lagi, penalti itu bersifat "sekali untuk seterusnya" (einmalig, bahasa Jerman).

"Kami kecewa. Anda harus memberi pujian kepada Burnley. Ini malam fantastis buat mereka. Suporter mereka juga fantastis dan lapangannya pun menyenangkan," kata Ferguson kepada Sky Sports. Ia juga menyatakan, penampilan Wayne Rooney cs kurang jempolan.

"Gol Blake adalah pukulan telak bagi kami. Lini pertahanan kami kurang baik. Hadiah penalti seharusnya bisa mengubah keadaan. Sementara di babak kedua, kami hanya kurang bagus dalam penyelesaian," ungkap pelatih asal Skotlandia itu.

Sementara itu, pelatih Burnley Owen Coyle memberi keleluasaan bagi pasukannya untuk terus meluapkan kegembiraan dengan menggelar pesta. Kemenangan itu bernilai sekali untuk seterusnya. "Saya katakan kepada pemain untuk pergi dan menikmati malam ini karena entah kapan lagi kami bisa mengalahkan MU," kata Coyle seperti dilansir The Sun.

Kontemplasi yang dijalankan The Clarets berbuah, rekonsiliasi yang diperanakan Burnley berdayaguna dalam aksi di lapangan. Tiga kata yakni "sekali untuk seterusnya" digumpalkan sebagai kontemplasi dalam tindakan (contemplatio in actione) dan rekonsiliasi dalam wawasan kemanusiaan. Dengan kata lain, bersujud sebagai insan-papa di hadapan Sang Pencipta meski terus berdayaguna di hadapan sesama.

Mengapa? Karena Pengalaman Gurun juga dialami dan diamini oleh Burnley. Sejak pertama kali kedua tim bersua pada 41 tahun lalu, tidak pernah sekali pun Burnley mengais kemenangan dari sembilan kali pertemuan terakhir. Baru kali ini Burnley masuk ke divisi utama lewat penantian panjang sejak 1976. Kontemplasi dan rekonsiliasi gaya The Clarets merujuk kepada makna kebaruan esensial dari laga kehidupan yakni ziarah-menuju-kemenangan.

Tercatat bahwa 17 laga terakhir melawan tim promosi, MU meraup kemenangan. The Red Devils menceploskan 44 gol dan kebobolan empat gol. Yang menggetarkan sekaligus mengundang ketakjuban, yakni ini kemenangan perdana Burnley atas MU sejak 1968.

Yang dahsyat, skuad Burnley tampil sebagai manusia-manusia yang tampak dahaga berkeksistensi di tengah ketakutan menghadapi kekacauan (chaos) dan menatap ketiadaan (nothingness). Skuad Burnley mengucapkan kredo pada awal mula adalah...(in principio). Kosok balik, MU justru mendiktekan kredo: pada akhirnya adalah kemenangan.

Di mata analis sepak bola Phil McNulty yang menulis di laman BBC, arsitek Coyle mempraktekkan prinsip dasar laga bola yakni "apa yang kita percayai, apa yang kita usahakan sebagai yang berkualitas, semuanya diluapkan dalam keinginan memperoleh kemenangan". Inilah tampilan dari salah satu nilai etis laga bola.

Nah, ketika menapaki dan menjejak kekalahan MU, publik berhadapan dengan pertanyaan reflektif. Bagaimana mungkin manusia mampu membebaskan diri dari dunia yang serba palsu, dunia yang tidak sejati? Bagaimana mungkin manusia menjadi diri sendiri secara penuh apabila tidak menghormati dunia nyata?

Tajam ketika menelisik hati akan menguak kepalsuan diri. Jeli ketika menelusur niat akan membongkar kepalsuan terhadap segala relung kehidupan. Makna pembebasan dan pendamaian dari laga bola untuk jagat kehidupan yakni mampu mendekonstruksi semua nilai. Bongkar, bongkar dan bongkar! (*)

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009