Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia bersikukuh menolak segala aktivitas pemerintah pengasingan Myanmar di Indonesia, sekalipun mengecam keputusan pengadilan negara sahabat itu atas tokoh pro demokrasi Aung San Suu Kyi.
Hal itu dikemukakan Juru Bicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah di Jakarta, Jumat, saat diminta pendapatnya mengenai reaksi Kepolisian RI membatalkan seminar pemerintah pengasingan Myanmar dan Kaukus Myanmar di Jakarta, Rabu (19/8).
"Bukan kaukusnya (yang dipermasalahkan) tapi pemerintahan pengasingan Myanmar yang melakukan aktivitas politik di wilayah Indonesia, itu yang tidak bisa dibenarkan," katanya.
Menurut Faizasyah, terlepas dari permasalahan internal Myanmar, tapi status Myanmar sebagai negara berdaulat yang diakui oleh dunia internasional tidak dapat diabaikan.
"Dengan kita memberikan kesempatan kepada pemerintah pengasingan untuk melakukan aktivitas politik di wilayah kita maka kita `berselingkuh`," ujarnya.
Menurut Jubir Deplu hal itu bukan prinsip dasar Indonesia.
Ia mengatakan bahwa sekali Indonesia memberikan pengakuan maka komitmen itu akan dipegang teguh.
Sementara itu polisi membatalkan pertemuan antarparlemen negara negara ASEAN dengan wakil pemerintahan pengasingan Myanmar menyusul desakan perwakilan Myanmar di Jakarta.
Wakil-wakil oposisi Myanmar sudah beberapa kali sejak lima tahun terakhir mengadakan seminar dengan wakil-wakil parlemen di ibukota-ibukota negara ASEAN, dan juga di Jakarta.
Pembahasan terutama berkisar mengenai perkembangan peta demokrasi di negeri itu dan nasib Aung San Suu Kyi serta tahanan politik lainnya.
Pemerintahan pengasingan Myanmar pimpinan PM Sein Wien berdiri sejak tahun 90 sejak rezim militer Myanmar menolak pemilihan umum bebas yang dimenangi Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi.
Aung San Suu Kyi telah menjalani tahanan rumah selama 14 tahun dan putusan pengadilan Selasa (11/8) lalu memperpanjang masa penahanannya menjadi 18 bulan, yang mengakibatkan ia tidak dapat ikut dalam pemilu yang rencananya diselenggarakan 2010.
(*)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009