"Hukuman penjara dapat mematikan masa depan tergugat pencemaran nama baik. Baik secara personal maupun institusi media," katanya di depan peserta diskusi publik Kebebasan pers versus Pencemaran Nama Baik yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Makassar, Kamis.
Ia menjelaskan, selain hukuman penjara seperti yang tercantum di KUHP Pasal 310-311 serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pengenaan denda paling banyak Rp600 juta bagi tergugat dianggap tidak patut.
Menurutnya, kedua jenis hukuman itu sebaiknya dihilangkan saja dan diganti dengan denda yang nilainya proporsional atau sesuai kemampuan ekonomi pelaku.
Terlebih, saat ini kecenderungan hukum di beberapa negara maju sudah menghapuskan masalah pencemaran nama baik dalam perundang-undangannya.
Bahkan beberapa negara miskin seperti Sri Lanka dan Kolombo juga menerapkan ketentuan hukum seperti itu dengan mengubahnya dari pidana ke perdata.
Situasi yang sama terjadi juga di Timor Leste. Kendati tetap memberlakukan perundang-undangan Indonesia, namun Pasal 310 hingga 321 KUHP Pidana tentang penghinaan ditetapkan sebagai bukan tindak pidana.
Ia menambahkan, jika tujuan pemenjaraan dan denda bernilai besar itu bisa membuat kebangkrutan bagi media, maka hal itu tak ubahnya dengan tindakan breidel atau penutupan usaha media yang dilakukan pemerintah pada era Orde Baru.
Atmakusumah berpendapat, tak ada kerusakan permanen yang terjadi akibat pencemaran nama baik. Terlebih, ada mekanisme untuk menjawab sangkaan pemberitaan dengan hak jawab atau hak koreksi.
"Menggunakan hak jawab sangat praktis dan bisa menyelesaikan persoalan hanya dalam satu hingga dua hari. Bayangkan jika harus menggunakan hukum, prosesnya bisa sangat lama," katanya. (*)
Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009