Bandarlampung (ANTARA News) - Syamsul Maarif (53) pria yang sempat ditangkap Densus 88 Mabes Polri di Kelurahan Kedamaian, Kota Bandarlampung, Lampung, atas tuduhan terlibat jaringan Slamet Kastari, mengaku tidak sepaham dengan tindakan dan aksi terorisme yang dilakukan Noordin M Top.
"Saya tidak bersimpati dengan ajaran mereka, karena menurut saya apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan ajaran Islam," kata Syamsul Maarif, di Bandarlampung, Rabu.
Syamsul ditangkap oleh Densus 88 Anti teror Mabes Polri pada 22 Juni 2009, namun polisi tidak dapat membuktikan keterlibatannya dalam jaringan terorisme. Dia hanya dijerat dengan Undang-undang Keimigrasian
Meski demikian, dia mengaku mengenal ketiga gembong teroris itu, saat sedang menuntut ilmu di Pondok pesantren Lukmanul Hakim, Johor, Malaysia. "Saya kenal dengan Noordin M Top, Slamet Kastari, dan Dr Azahari, saat `mondok` di Lukmanul Hakim, Johor, Malaysia, beberapa tahun lalu," kata Syamsul, di Bandarlampung, Rabu.
Syamsul mengenal Noordin, Azahari, dan Slamet, saat ketiganya masih sebagai pengajar di Pesantren Lukmanul Hakim, di Johor, Malaysia.
"Saya mengikuti pengajian mereka juga, pada kurang lebih 10 tahun lalu," kata dia.
Pria warga negara Singapura itu mengaku mengikuti pengajian itu untuk mempelajari akidah Islam, tanpa adanya niat melakukan tindakan kekerasan sebelumnya.
"Saya hanya mengenal mereka sebagai guru, bukan secara pribadi," dia menerangkan.
Meski demikian, pada 2001, dia mengaku sempat pergi ke Afghanistan, untuk mengikuti pelatihan peperangan di sana, dan tidak kembali ke Singapura.
"Sejak pulang dari Afghanistan itulah, saya memutuskan untuk tidak kembali ke Singapura, dan menetap di Malaysia dengan paspor Singapura bersama anak dan istri," kata dia.
Selama dua tahun tinggal di Malaysia, dia mengaku menyekolahkan anaknya juga di Pesantren Lukmanul Hakim, Malaysia, dan kembali berjumpa dengan ketiga gembong teroris itu.
"Saya bertemu mereka saat menjemput anak saya dan setiap membayar biaya pendidikan yang setiap bulan besarnya 157 ringgit Malaysia," kata dia.
Dia mengatakan, sama sekali tidak terlibat dengan jaringan ketiga gembong teroris itu, karena tidak memiliki kesamaan pandangan tentang hal yang sama, yaitu jihad. "Saya ke Indonesia karena alasan keamanan," kata dia.
Selama di Indonesia, dia pernah tinggal di Tanjung Batu, Riau pada Maret 2003 dan sempat berpindah-pindah bersama anak istrinya, mulai dari Jambi, Tulung Agung, hingga ke Malang, dan pada tahun 2006, bersama salah satu anak laki-lakinya tinggal di Bandarlampung.
Syamsul ditangkap oleh Densus 88 Anti teror Mabes Polri pada 22 Juni 2009, dengan tuduhan terlibat jaringan teroris Slamet kastari, namun hal tersebut tidak dapat dibuktikan polisi, sehingga dia hanya dijerat dengan Undang-undang keimigrasian.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009