Jakarta (ANTARA News) - Malaysia, si Truly Asia, menawarkan pengalaman wisata berbasis petualangan hutan tropis, segarnya hawa dataran tinggi yang tak terlupakan, pantai berpasir yang hangat, sekaligus wisata budaya yang multikultural, hingga wisata belanja khas sophaholic kelas dunia.
Sepintas tawaran wisata itu hampir serupa dengan si Ultimate in Diversity, Indonesia. Namun yang berbeda, Malaysia memberikan kemudahan akses dalam segala hal.
Sang Jiran memang menggarap sektor pariwisatanya ibarat memenuhi kebutuhan primer dan menjadikan agenda itu amat diprioritaskan.
Ia mengkombinasikan kekayaan flora dan fauna dengan infrastruktur kelas dunia pada saat yang bersamaan. Kesiapan infrastruktur transportasi memungkinkan pengunjung memiliki banyak pilihan untuk melakukan mobilitas dari mulai kereta komuter, monorail, ERL, taksi, bus, hingga sepeda motor.
Negeri beribukota Kuala Lumpur itu juga memudahkan pengunjung dengan layanan telekomunikasi berbasis seluler yang ready to use alias siap pakai.
Hilang sinyal akibat tak ada layanan telekomunikasi dari negeri asal tak perlu risau. Malaysia siap mengantisipasi dengan menyediakan layanan one stop service mobile di terminal kedatangan Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur.
Setelah sim card terpasang, layanan voice, SMS (layanan pesan singkat), hingga layanan data siap terakses tanpa syarat berbelit.
Negeri itu memberikan pilihan wisata mulai dari mandi matahari di pantai Pulau Redang, ber-snorkeling dalam kejernihan air Pulau Langkawi, merasakan manisnya stroberi di Dataran Tinggi Cameron, hingga menguji adrenalin di Genting Highlands.
Sebagai bagian tak terpisahkan dari negeri itu, latar belakang multikultural Malaysi justru dijadikan daya tarik tersendiri, di mana warga berbeda etnis hidup bersama secara berdampingan dengan damai, menciptakan kesan keberagaman budaya dan tradisi. Etnis Melayu, China, hingga India mendominasi negeri yang diperintah oleh Yang Dipertuan Agong itu.
Alasan itulah yang melatarbelakangi, Malaysia memilih brand image Truly Asia. Di samping beraneka festival penuh warna yang digelar di berbagai sudut kota.
Soal kerajinan tangan, negeri penghasil sawit dan karet terbesar itu mengklaim memiliki tekstil handmade otentik bernama batik dan songket.
Negara itu juga memiliki kota yang bisa dijadikan surga wisata kuliner yang hidup selama 24 jam sehari, tujuh hari sepekan. Negeri Mahathir itu meminta pengunjungnya agar tidak melewatkan pengalaman menikmati nasi lemak yang begitu kondang, nasi kerabu, satay, roti canay, char koey teow, dan berbagai jenis masakan lain.
Negeri itu juga memperkuat citra memiliki kota besar dengan struktur urban yang memadai termasuk untuk kepentingan pariwisata. Petronas Twin Tower, KL Tower, hingga Kuala Lumpur International Airport yang dinilai banyak wismannya sebagai "not forgetting the world class airport" alias bandara kelas dunia yang tak terlupakan, menjadi andalan tersendiri.
Kuala Lumpur di sisi lain mengundang para sophaholic (pecinta belanja) di belahan dunia manapun untuk mengunjungi surga pertokoan di sepanjang Jalan Bukit Bintang dengan tawaran beragam produk berkualitas yang dipasang pada kisaran harga kompetitif, khususnya selama gelaran Malaysian Mega Sale pada bulan-bulan tertentu.
Pin Visit
Menikmati Airport Taxi dari bandara Kuala Lumpur ke pusat kota menjadi pengalaman yang membosankan sekaligus menakutkan. Sebab di jalan bebas hambatan, sopir cenderung ngebut dan ceroboh. Sebaliknya di jalan yang padat, kemacetan menjadi sesuatu yang tidak terelakkan. Dalam hal kemacetan itu, Kuala Lumpur tidak kalah jauh dengan Jakarta.
Bedanya, sopir taxi airport bandara Kuala Lumpur, teredukasi dengan baik soal pariwisata. Bahkan, hampir sebagian besar sopir melengkapi aksesoris mobilnya dengan benda-benda bernada promosi, misalnya stiker dan pin bertuliskan Visit Malaysia.
Mr. Kesavan, sopir taxi airport bandara Kuala Lumpur, ketika ditanya dimana bisa mendapatkan pin bertuliskan Visit Malaysia yang tertempel di dada kiri jasnya tidak segera menjawab.
Ia serta merta melepaskan pin itu dan menyerahkannya. "Take it, that is for you," katanya. Ketika ditanya mengapa, ia seketika menjawab; "Just because you want it," katanya.
Namun, saat ia diberi pin serupa bertuliskan Visit Indonesia 2009, Kesavan tampak setengah hati dan mengangsurkan benda itu ke dalam laci dashboard taxinya.
Fakta itu menunjukkan betapa Malaysia bahkan hingga ke dalam sanubari warganya telah menanamkan promosi pariwisata sebagai salah satu bentuk nasionalisme.
Kesavan berikutnya memaparkan keindahan negerinya yang tidak pernah tidur barang sekejap untuk menemani wisatawan yang mampir.
Indonesia, tampaknya memiliki pekerjaan rumah yang semakin berat menghadapi kenyataan itu. Satu yang paling serius adalah faktor keamanan. Di samping kerap terguncangnya stabilitas lantaran sering menjadi korban aksi teroris, Indonesia juga belum memiliki suasana aman yang mengakomodir wisatawannya untuk melancong hingga larut malam.
Sebelum purnatugas, mantan Direktur Jenderal Pemasaran Depbudpar yang menduduki jabaran terakhir sebagai Staf Ahli Bidang Hubungan Antar-Lembaga Thamrin B. Bachri mengatakan, ia ingin penerusnya melanjutkan pekerjaan rumah dalam hal perkuatan destinasi khususnya di bidang keamanan dan kenyamanan destinasi.
"Sebagus apapun destinasi yang dijual kalau tidak bersih, tidak nyaman, dan tidak aman untuk apa. Tidak akan laku dijual," katanya.
Indonesia juga memiliki pekerjaan rumah untuk membangun destinasi wisata yang hidup selama 24 jam dan tersebar merata dengan akses transportasi dan hospitality yang mendukung.
Nyaris menjadi impian yang utopis, menurut sebagian besar orang, mengingat Indonesia belum menjadikan sektor pariwisata sebagai prioritas utama untuk dibangun.
Padahal, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik pada acara pembukaan Gebyar Wisata Nusantara (GWN) 2009 di Jakarta belum lama ini mengatakan, sektor pariwisata telah menyumbang pendapatan nasional mencapai Rp200 triliun sepanjang 2008.
"Jadi hampir Rp200 triliun uang beredar di sektor pariwisata dan langsung dapat dinikmati oleh masyarakat yang bergerak di dalamnya tanpa melalui tangan birokrasi lebih dulu," katanya.
Minim Budget
Dana promosi meski bukan segalanya menjadi cermin keseriusan pemerintah dalam membangun sektor pariwisata di tanah air.
Pemerintah Indonesia hanya mengalokasikan Rp289 miliar (Dana Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2009 sebesar Rp1,1 triliun) untuk kepentingan promosi pariwisata sepanjang 2009. Dana itu memang naik 10 persen dibandingkan tahun lalu.
Berdasarkan standar Badan PBB untuk pariwisata (UN WTO) untuk mendatangkan seorang wisman diperlukan dana promosi sebesar 10 dolar AS.
Jumlah wisman ke Indonesia pada 2009 ditargetkan mencapai 6,5 juta orang dengan penerimaan devisa 7,1 miliar dolar AS. Malaysia sendiri pada dasarnya merupakan pasar potensial kedua dengan sumbangan jumlah wisman yang datang ke Indonesia pada 2008 sebesar 880 ribu pengunjung. Tahun ini ditargetkan bertambah mencapai 1-1,2 juta pengunjung ke Indonesia.
Executive Directore Bloomingdale Worldwide (communication partner pariwisata Depbudpar untuk Malaysia), Yann Razal, mengatakan Indonesia termasuk salah satu negara yang mengalokasikan budget rendah untuk sektor pariwisata.
"Selain dengan Indonesia kami terbiasa menangani Malaysia Tourism Board, Pakistan, India, dan Singapura. Indonesia masih yang terkecil budgetnya," katanya.
Untuk 2009, Bloomingdale hanya dijatah Rp30 miliar dengan target mampu mendatangkan wisman asal Malaysia sebanyak 10.200 pengunjung sampai tutup tahun ini.
Direktur Promosi Dalam Negeri, Fathul Bahri, menegaskan pihaknya menetapkan strategi pemasaran "less budget high impact".
"Kami lebih ke new wave marketing, yakni dengan budget yang minim tapi ada impaknya yang luar biasa,"katanya.
Managing Director Bloomingdale Worldwide, Mudi Astuti, mengatakan pada dasarnya Indonesia menghadapi masalah dalam hal kanal pasar.
"Kita harus bereskan dulu marketing channeling (kanal pasar) ini sebelum melangkah ke tahap selanjutnya," katanya.
Malaysia, sudah membereskan persoalan tersebut jauh-jauh hari sebelumnya. Karena itulah branding yang penuh filosofi Truly Asia, bagi negeri itu menjadi citra yang dijunjung tinggi semua elemen masyarakatnya.
"Sudah sejak 2003 Malaysia membereskan persoalan di tingkat marketing channeling," katanya.
Indonesia, menurut dia, memiliki potensi lebih dari Malaysia bila mau memulai untuk membereskan marketing channeling yang kusut sampai detik ini.
"Kita punya semuanya di sini, apa yang tidak kita punya." (*)
Oleh oleh Hani Sofia
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009
Siapa mau ke Indonesia kalau keselamatan tak terjamin?
Merdekakan fikiran kerana zaman penjajahan telah lama berlalu.