"Di tengah pandemi, silaturahim harus tetap terjaga tidak harus bertemu secara langsung dengan keluarga, melainkan melalui komunikasi dan media sosial," katanya di Semarang, Minggu.
Dalam tarian tersebut, Yoyok mengajak istri Tri Narimastuti dan tiga anaknya yakni Sangghita Anjali, Canadian Mahendra, serta Ratu Gayatri untuk untuk menari yang dipentaskan secara daring.
Ia menjelaskan bahwa dalam karya tari itu dirinya mengambil filosofi Jawa yaitu Catur Magedang dengan salah satu properti tarinya, tanaman pisang yang secara filosofi memiliki makna "ngempan papan, kukuh ing ngabdi, widji dadi, dan saeka kapti".
Menurut Yoyok, secara makna, "saeka kapti" memiliki arti bahwa pohon pisang selalu tumbuh bersama dan tidak sendirian sehingga bisa diartikan sebagai semangat gotong royong dalam keluarga.
"Sedangkan "widji dadi" bermakna orang tua harus menyiapkan generasi penerus agar selalu meneruskan hidup untuk kebaikan dan bermanfaat bagi siapapun. Wujudnya berupa tunas yang muncul di sebelah pohon induk," ujarnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan mengenai filosofi "panca warga" adalah keluarga baiknya konsisten dalam kebersamaan dalam berbagai kondisi.
"Kami simbolkan dalam gerak tari sungkeman yakni sebuah isyarat saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Dan restu orang tua sebagai tongkat penuntut agar anak tulus, 'teteg', 'titi', 'tatag', 'tutuk', 'tekan' mencapai kebahagiaan dunia akhirat," katanya.
Dalam tarian yang juga untuk memperingati Hari Raya Idul Fitri itu, semua penari mengenakan kostum lurik sehingga semakin memperkuat nuansa budaya Jawa.
Pewarta: Wisnu Adhi Nugroho
Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2020