Jakarta (ANTARA News) - "Saya, Abdullah, Suwardi, Adurrachman dan Nur Muhammad, dipanggil oleh Komandan Kompi Kusto untuk segera berangkat dengan kereta api listrik dari stasiun Kota menuju Manggarai, namun sampai di Pegangsaan, kami diperintahkan turun," kata Sapoetro mengenang masa lalunya ketika ikut berjuang merebut kemerdekaan RI.
"Turun dari kereta kami disuruh berbaris dan berjalan kaki menuju Jalan Pegangsaan Timur 56. Sesampai di sana, barulah kami tahu tempat itu merupakan kediaman Bung Karno," kenang Mayor (Purn) Sapoetro (82).
Sapoetro, yang kini tinggal di Jalan Ade Irma Suryani No 17, Kabupaten Pandeglang, Banten, adalah satu dari sedikit saksi sejarah yang turut menjaga dan menyaksikan berlangsungnya detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945.
Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, atas nama bangsa Indonesia, mengumandangkan naskah Proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta.
Sapoetro mengaku merasakan dan mengetahui secara persis bagaimana beratnya perjuangan putra-putri Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, baik penjajah Jepang maupun Belanda.
Sebagai prajurit, Sapoetro muda dan teman-temannya itu ditugasi mengamankan rumah Bung Karno berikut penghuninya. "Jika ada tentara Jepang datang dan masuk harus diusir, jika perlu dibunuh," demikian perintah komandan saat itu kata Sapoetro.
Sapoetro mengaku ketika disuruh mengusir dan membunuh tentara Jepang itu ia dan temannya masih belum mengerti apa gerangan yang akan terjadi. Hanya terlihat banyak pasukan yang berderet membentuk formasi. Sapoetro ditugasi menjaga serambi belakang.
Sekitar pukul 10.00 WIB pasukannya berkumpul, masing-masing melaporkan keadaan masing-masing, dan barulah mereka diberitahu bahwa Indonesia sudah merdeka, kemudian disuruh menurunkan bendera Jepang (Hinomaru) dan diganti dengan bendera merah putih.
Setelah itu, pasukannya berbaris kembali menuju stasiun dan kembali ke tempat semula.
Saat bercerita bagaimana suasana saat naskah Prokalamasi dibacakan, Sapoetro didampingi istrinya Aan Futona kemudian terdiam sejenak, lalu ia menyeka kedua matanya yang basah.
"Saya sedih kalau mengenang kembali peristiwa tersebut. Jika saja pada waktu itu tidak ada rakyat Indonesia yang mengkhianat, tentu kita dengan mudah merebut kemerdekaan ini, dan tidak perlu ada Perundingan Renville," ujar Sapoetro.
Selain pernah mengawal Proklamasi Republik Indonesia, Sapoetro juga pernah mengawal uang sebanyak dua gerbong penuh kereta api yang dibawa dari Stasiun Senen menuju Badan Keamanan Rakyat Kereta Api (BKR KA) di Bandung. Waktu itu belum terbentuk Tentara Republik Indonesia Kereta Api (TRI KA).
Saat tiba, di Bandung sedang berkecamuk pertempuran, dan Sapoetro menggabungkan diri dengan Bataliyon 5 Resimen 9 Divisi 1, yang sekarang bernama Siliwangi I. Kemudian ia mendapatkan pangkat Sertu.
Selama menjadi prajurit, ia pernah hijrah ke Markas Besar Komando Djawa (MBKD) pada 1947 - 1948, yang panglimanya waktu itu Pak Nasution.
Ia juga terlibat dalam perjuangan menumpas gerakan separatis, saat meletus perisitiwa PKI pada 1948. Setelah selesai peristiwa tersebut, ia kembali lagi ke Jawa Barat, dan bermukim di Majalaya, Bandung Selatan.
Karier di Militer
Sapoetro adalah anak dari pasangan Soewadhi Kartosugiro dan Muslimah. Ia mulai meniti karier di militer pada 1942. Pada 1945 ia ditugaskan di Pulau Sakit, Kepulauan Seribu, sebagai dok rahasia Jepang.
Ia hanya setengah tahun berada di Pulau Sakit. Ia kabur dari pulau tersebut karena tidak tega melihat orang Indonesia dibunuh oleh Jepang.
Namun pada 16 Agustus 1945 ia dipanggil oleh Komandan Kusto, yang ternyata menyuruhnya untuk menjaga rumah Bung Karno.
Selama berjuang merebut kemerdekaan, Sapoetro mengaku banyak mendapat tugas yang membahayakan. Namun tugas mulia itu tetap dijalankan, dan akhirnya ia selamat dan masih menikmati kemerdekaan ini dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel.
"Sebenarnya pangkat terakhir saya letnan kolonel, namun karena tidak diurus administrasinya, ketika pensiun masih tercatat mayor dengan penerimaan gaji pensiun mayor," kata Sapoetro yang suaranya masih lantang, meski pendengarannya mulai berkurang, dan harus dibantu alat pendengaran.
Atas jasanya dalam ikut berjuang merebut kemerdekaan, dan pengabdiannya di militer, tidak sedikit tanda penghargaan yang diberikannya, baik pada era pemerintahan Soekarno maupun Soeharto.
Ia memajang tanga kehormatan itu didinding rumahnya di ruang belakang secara berderet sesuai dengan tahun.
Ia pernah mendapatkan tanda kehormatan Bintang Sewindu pada 1954, kemudian Satyalencana Peristiwa Aksi Militer Kesatu pada 1958, Aksi Militer Kedua pada 1958, Satyalencana Gerakan Operasi Militer I sampai IV pada 1959, Bintang Gerilya pada 1963, Bintang Kertika Eka Paksi pada 1986, Pejuang Kemerdekaan Veteran pada 1981 dan Satyalencana kesetiaan 24 tahun dan 26 tahun.
Sapoetro mengaku saat ini susah menemui teman-temannya yang sesama perjuangan, bahkan ia tidak tahu apakah mereka masih hidup atau sudah meninggal.
"Saya ingin sekali bertemu dengan mereka, khususnya empat teman yang ditugaskan di rumah Bung Karno, yaitu Abdullah, Suwardi, Adurrachman dan Muhammad. Mudah-mudahan ia masih hidup dan mudah-mudahan pula ia membaca tulisan ini," kata Sapoetro yang dikaruniai 17 orang anak; tiga anak dari istri pertama, 14 anak dari istri kedua. (*)
Oleh Oleh Ridwan Chaidir
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009