Jakarta (ANTARA News) - Suatu realita sangat menggembirakan sejak beberapa tahun lalu manakala berbagai aktivitas promosi/iklan para tokoh ‘wirausaha layaknya Soekamdani Sahid Gitosardjono, Ciputra, Mochtar Riyadi, Budi Hartono, Alim Markus dengan dukungan para akademisi yang profesional menggelindingkan perlunya kesinambungan pendidikan teori dan praktik kewirausahaan non-gelar melalui serangkaian diskusi bagi masyarakat.
Prakarsa mereka bisa disebut sebagai pertanggungjawaban sosial perusahaan (corporate socia responsibility/CSR), dan tidak semata-mata mencari laba. Prakarsa semacam itu perlu juga di daerah luar Jawa dalam rangka stimulasi otonomi daerah.
Prakarsa yang tulus tersebut terasa mencerahkan, apalagi dalam situasi dan kondisi perekonomian di negeri ini yang ikut terkena dampak krisis global. Selain itu, pelaku ekonomi yang terhitung usaha kecil dan menengah (UKM) juga kian memerlukan motivasi yang menyegarkan, agar lebih mampu berprestasi sekaligus berinovasi.
Setiap pelaku bisnis UKM, serta anggota masyarakat yang mulai berhasrat melakukan inovasi berbisnis (yang bukan spekulatif), lebih merasa terhormat kalau oknum birokrat mulai sadar dengan belajar membersihkan diri dari karakter menghambat dan mempersulit dalam budaya melayani. Berjiwa dan bermoral dalam arti kewirausahaan pemerintah (entrepreneurial government) dan beretika lebih bermutu, lebih cepat dan lebih murah (better, faster and cheaper).
Dalam era penuh perubahan, berbagai kalangan di negeri ini agaknya perlu lebih memahami kembali jiwa kewirausahaan (entrepreneurship). Bagi yang sudah memiliki jiwa ingin selalu lebih baik dan lebih produktif, tapi syaratnya lebih beretika. Lalu, langkah-langkah apa saja yang perlu dilakoni untuk membangun jiwa kewirausahaan, yang di masa depan pasti menjadi tantangan tersendiri, apalagi dalam lingkungan yang senantiasa mengalami perubahan dan semakin kuatnya pengaruh global.
Dalam kegiatan operasional keseharian, manajemen organisasi makin dituntut kemauan menggelindingkan bisnisnya melalui penyegaran intrapreneurship. Istilah intrapreneurship dapat diartikan bahwa melalui diskusi lintas fungsional yang bersinambungan, termasuk uji coba menciptakan budaya keunggulan (culture of excellence) dalam proses perubahan.
Sikap pandangnya bagi setiap anggota organisasi berarti membuat terjadinya kegiatan inovatif yang sama bermutunya dengan yang dari luar organisasi. Mendayagunakan intrapreneurship dalam tubuh organisasi sama artinya dengan memotivasi budaya produktivitas dengan ketegasan ketepatan memanfaatkan waktu dalam perilaku memperbarui diri.
Kunci keberhasilan kewirausahaan tradisional/generasi pertama pendiri bisnis terletak pada kekayaan dan menghargai diri (self appreciation) yang didapat dari memotivasi diri yang kadang-kadang agak spekulatif. Secara tradisional motivasi untuk berprestasi dalam organisasi demikian itu sifatnya individual dan banyak kali tergantung selera individunya.
Bagi pelaku ekonomi kini secara teoretis dan terbukti riil, ada beberapa faktor dinamisator yang memotivasi sukses dalam proses suatu perusahaan. Pertama, filosofi dan budaya perusahaan yang jelas bisa dianut dan dikerjakan oleh sumber daya manusia (SDM) atau anggota perusahaan. Kedua, market niche alias relung pasar yang disepakati bersama oleh kelompok inisiator eselon manajemen menengah inti, Ketiga, kualitas barang/jasa yang membedakan dari pesaing. Keempat, inovasi yang berproses, dan keterikatan pada fokus dengan dukungan modal yang memadai. Sinergi ini perlu dijaga kesinambungannya.
Sebagai bahan telaah, maka kita dapat menengok ke sejarah bisnis Asia Timur, termasuk di kawasan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang menunjukkan proses yang tidak kenal lelah dan frustrasi, seperti Sony Electronics, National/Panasonic Electric, industri otomotif Toyota, Honda, Hyundai, Haier (China), bahkan International Malaysian Shipping Corporation, Shangri La Hotel, dan sejumlah bisnis lain yang awalnya merupakan inisiatif perorangan dengan skala operasi kecil, bahkan kurang dikenal oleh lingkungannya.
Dengan memperoleh bahan pembanding, maka hendaknya masyarakat sebagai pemangku kepentingan (stake holders) jangan meremehkan pula sejarah perusahaan di Nusantara ini layaknya Kelompok Sahid Hotel, Citra (Ciputra), Lippo (Mochtar Riyadi), Maspion Alim Markus), hingga kelompok bisnis Haji Kalla di luar Jawa, yang dalam prosesnya sebagai bisnis keluarga, yang awalnya pun kurang dianggap.
Namun, mereka juga mencatat sejarah mampu tumbuh masuk ke kelas menengah dan kemudian membesar melalui proses, seperti mendaki gunung. Mendaki gunung pun kadang-kadang mandek untuk menarik napas, bahkan kalau perlu mencari inisiatif segar dengan membangun jalan baru yang lebih cepat ke tujuan dengan risiko seminimal mungkin.
Belakangan ini, proses kewirausahaan kolektif juga mulai memberi kontribusi sebagai fokus dalam pertumbuhan perusahaan. Dalam merintis jiwa kewirausahaan yang bukan spekulati memang proses perwujudannya tidak semudah apa yang dicitrakan. Repotnya, kalau yang menjadi anggota kewirausahaan kolektif, maka mudah terjebak dalam rasa takut gagal, dan was was dicemoohkan oleh yang berada di luar kelompok, apalagi dihambat dalam proses pewujudannya oleh oknum birokrasi yang belum pernah mengalami pahit getirnya menjadi pelaku bisnis, antara lain di sektor industri, perdagangan, transportasi, dan pariwista.
Kewirausahaan kolektif merupakan kombinasi dari berbagai sifat dan perilaku manusia, yakni talenta, energi, komitmen dan berinovasi sebagai suatu tim. Dalam kewirausahaan kolektif, maka potensi dan keahlian dan sifat dapat dipercayai/ diandalkan (skill and credibility) individual yang diintegrasikan dalam suatu kelompok yang saling mencerahkan dalam visi dan karya.
Melalui kelompok tersebut, maka sejatinya memotivasi karyawan dengan mengandalkan peranan manajemen menengah. Bagi kelompok dan manajemen menengah artinya harus tersedianya investasi dalam pemikiran berinovasi, sumber dana yang dibutuhkan dan waktu termasuk menghargai waktu tanpa kebiasaan mengulur waktu (just-in-time).
Kebersamaan menciptakan nilai yang seimbang dalam arti co-creation of value dalam pasar yang dijadikan relungnya. Lalu bagaimana dalam bisnis keluarga? Di mana generasi pertamanya berdaya tahan melalui keuletan, dalam arti kreativitas hanya menjadi resepnya kepala keluarga dan beberapa anggota keluarga atau kawan akrabnya yang seusia dengan kendali keuangan perusahaan.
Jiwa kewirausahaan perlu dimiliki oleh juga oleh SDM organisasi/lembaga pemerintahan sebagai pelayan masyarakat yang disebut entrepreneurial government yang berbudaya inovatif, kreatif dan kompetitif untuk selalu lebih baik, lebih cepat dan lebih murah dalam memberikan layanan ke masyarakat sesuai dengan misi pertanggungan jawab sosial (social responsibility), dan bukannya mencari-cari alasan yang justru menunda-nunda pekerjaan.
Para pengamat dan praktisi dalam hal ini ikut berperan menggerakkan jiwa kewirausahaan, dan hendaknya secara tulus menyambut positif salah satu tanggungjawab para elite pelaku ekonomi guna menjaga kesinambungan pendidikan/pelatihan jiwa kewirausahaan non-gelar, namun mampu saling berinteraksi.
*) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi/bisnis; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta.
Oleh Bob Widyanto
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2009