Keduanya, hewan dan tumbuhan berperan penting dalam mengatur bumi melalui suhu, iklim, dan penyerbukan
Jakarta (ANTARA) - Persoalan lingkungan saat ini menjadi pekerjaan rumah bagi sejumlah negara termasuk Indonesia, setiap tahunnya harus meningkatkan anggaran untuk menjaga dan melestarikan keragaman hayati.
Hari keanekaragaman hayati pada 22 Mei seharusnya mulai menggugah kesadaran masyarakat Indonesia terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.
Di tengah penyebaran virus corona ini, persoalan melestarikan keanekaragaman hayati menjadi hal yang sangat penting. Saat ini hampir semua sektor terfokus pada upaya-upaya kesehatan untuk menyelamatkan nasib umat manusia, bahkan hampir sebagian besar anggaran tersedot ke sektor tersebut.
Persoalan wabah corona ini seharusnya tidak dirasakan oleh hewan-hewan liar yang selama ini berada di pusat konservasi, taman nasional, bahkan kebon binatang. Hewan-hewan ini seharusnya tetap merasakan makanan yang biasa dikonsumsi setiap hari.
Langkah melestarikan lingkungan dapat dimulai dari cara yang paling mudah, namun memberikan kontribusi yang besar terhdap lingkungan, salah satunya dengan mengubah pola makan.
Terkait hal itu beberapa lembaga swadaya masyarakat bidang perlindungan hewan di Indonesia mengajak masyarakat agar lebih sadar adanya hubungan antara kelestarian keanekaragaman hayati di bumi ini dengan pola makan yang selama ini kita jalani.
Menurut laporan World Wild Fund for Nature (WWF) lebih dari 60 persen populasi mamalia, burung, ikan, dan reptil telah lenyap, dalam rentang waktu 1970 sampai dengan 2014.
Baca juga: Penerapan UU Perlindungan Hewan di Indonesia dinilai lemah
Berdasarkan laporan itu lenyapnya populasi hewan ternyata juga dipengaruhi pola makan dari salah satu produk hewan.
Dian Pitaloka, juru kampanye perlindungan hewan Act For Farmed Animals mengatakan ketidakseimbangan pola makan ini bukan hanya berisiko membahayakan hewan, tetapi juga berpengaruh pada ancaman kehidupan manusia di bumi.
"Keduanya, hewan dan tumbuhan berperan penting dalam mengatur bumi melalui suhu, iklim, dan penyerbukan," katanya.
Dian melalui kampanye yang dilakukan oleh LSM Sinergia Animal dan Animal Friends Jogja, mengatakan salah satu cara untuk merayakan Hari Keanekaragaman Hayati yaitu dengan berkontribusi melakukan bagian kita untuk bumi agar pulih.
Dengan mengubah kebiasaan pola makan dan mengurangi konsumsi produk hewani merupakan salah satu kontribusi yang dapat kita semua lakukan untuk melestarikan lingkungan.
Hewan ternak
Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), sebanyak 80 persen lahan pertanian di dunia digunakan untuk hewan ternak. Hal ini mengakibatkan kerusakan yang signifikan terhadap hutan hujan, yang dapat membahayakan satwa liar.
Persoalan ini yang juga mengakibatkan terjadinya deforestasi (penggundulan hutan) di sejumlah negara sehingga mengancam kelangsungan hewan-hewan liar yang ada.
Dian mengatakan Indonesia mengimpor kedelai dari Brazil untuk diberi makan ke hewan ternak. Saat kita mengurangi konsumsi produk daging, berarti kita mengurangi permintaan jenis produk tersebut sehingga mengurangi beban lahan yang dipakai di negara itu.
Sedangkan produksi sayur-sayuran untuk konsumsi manusia membutuhkan lahan yang jauh lebih sedikit, jelas Dian.
Kemudian di sisi lain para peternak masih menganggap hewan liar sebagai ancaman untuk produksi mereka, contohnya bison, kangguru, zebra, dan kerbau bersaing dengan hewan ternak untuk merumput, serta ular dan keluarga kucing besar yang memangsa hewan ternak.
Alasan ini menyebabkan para peternak sering memburu hewan-hewan tersebut. Jika kita mengurangi konsumsi daging, para peternak akan lebih berdedikasi untuk mengolah sayuran sedangkan hewan liar dapat hidup dengan bebas.
Baca juga: MK didesak uji materi UU Perlindungan Hewan
Fakta juga memperlihatkan peternak membangun pagar untuk menjaga hewan liar jauh dari kandangnya. Namun langkah ini justru menghalangi rute migrasi jutaan hewan. Jika mereka tidak dapat melanjutkan migrasinya, banyak hewan yang dapat sekarat karena dehidrasi atau kelaparan. Tentunya keadaan tidak harus seperti ini.
Polusi air
Mayoritas air yang dikonsumsi oleh hewan ternak kembali ke alam dalam bentuk pupuk cair, zat yang sarat akan patogen, logam berat, residu obat, hormon, antibiotik.
Berdasarkan data FAO limbah tersebut menyerap banyak oksigen yang menyebabkan adanya pertumbuhan ganggang berlebih di danau, waduk, atau daerah pesisir. Selain oksigen, ganggang juga menghasilkan toksin yang mengancam spesies lain untuk bertahan hidup.
Hewan ternak berkontribusi sebanyak 14,5% sampai 18% jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan manusia. Berdasarkan FAO, daging bertanggung jawab terhadap 41% emisi dari sektor tersebut, sedangkan produksi susu berkontribusi sebesar 20% dalam jumlah emisi yang sama.
Tidak dapat dipungkiri bahwa peternakan hewan berperan secara signifikan dalam perubahan iklim dan juga kerusakan lingkungan sebagai dampaknya.
Tentu saja, konsekuensi tersebut berdampak pada hewan liar, seperti yang terjadi di kebakaran Australia pada September 2019. Bukan hanya itu, perubahan iklim juga berdampak pada rusaknya terumbu karang, yang disebut oleh Unesco sebagai sumber “pembibitan laut” dan “sumber keanekaragaman hayati”.
Menurut Unesco, jika tidak ada perubahan, di tahun 2100 lebih dari setengah dari spesies biota laut berada dalam ancaman kepunahan, karena adanya penangkapan ikan yang berlebihan, yang diambil terlalu banyak dibandingkan jumlah yang dapat diproduksi.
Jika kita mengurangi konsumsi ikan dari piring kita, maka tidak ada hewan yang harus mati tercekik kehabisan udara hanya untuk kita makan, dan jutaan kura-kura, lumba-lumba dan hewan lainnya tidak akan tertangkap secara tidak sengaja di jaring ikan yang mematikan.
Baca juga: Profauna minta pemerintah berantas jual beli satwa liar
Alasan-alasan tersebut cukup untuk membuktikan bahwa dengan mengurangi produk hewani dengan mengurangi konsumsinya, akan mencegah banyak hewan liar tersakiti bahkan punah. Ini adalah waktunya untuk kita mengubah pola hidup untuk melindungi keanekaragaman hayati bumi ini.
Tantangan untuk membatasi konsumsi makanan berbahan dasar hewani kemudian digagas salah satu LSM perlindungan hewan yang menyelenggarakan tantangan berupa pola makan berbasis nabati selama 21 hari.
Tantangan yang dapat diikuti semua lapisan masyarakat ini tentunya dipandu ahli gizi yang akan menjawab setiap pertanyaan melalui surat elektronik. Peserta juga akan mendapatkan resep, tip, dan panduan selama mengikuti tantangan tersebut.
Dengan berbagai gerakan dengan melibatkan peran serta masyarakat diharapkan dapat ikut membantu melestarikan kekayaan hayati, termasuk mencegah terjadinya konflik manusia dengan satwa liar yang juga kerap terjadi di Indonesia.
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2020