Bondowoso (ANTARA) - Di suatu wilayah, terdapatlah dua orang yang secara ukuran hukum agama sangat bertolak belakang satu sama lain, yakni antara orang saleh dengan bajingan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memaknai kata "saleh" sebagai orang yang taat dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah. Makna kedua adalah orang suci dan beriman. Sementara bajingan menunjuk pada sosok penjahat, pencopet atau orang yang kurang ajar.

Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo, KHR Ahmad Azaim Ibrahimy, dalam suatu pengajian yang diselenggarakan Ikatan Santri dan Alumni Salafiyah Syafi'iyah (IKSASS) Rayon Bondowoso menceritakan kisah orang saleh dengan seorang bajingan ini untuk dijadikan ibrah agar seseorang dalam menjalankan perintah agama harus selalu menjaga hati agar tidak sombong terhadap orang lain. Ini adalah cerita hikmah yang bisa kita jadikan pedoman dalam menjalankan ibadah seraya menjaga "gerak" hati.

Cucu dari Pahlawan Nasional KHR As'ad Syamsul Arifin ini menceritakan bahwa orang yang saleh itu tinggal di pegunungan yang hidupnya lebih banyak diisi dengan ibadah. Pegunungan itu agaknya memberi gambaran bahwa orang saleh itu jauh dari gangguan kondisi sosial masyarakat sehingga hidupnya lebih banyak diisi dengan ibadah kepada Allah.

Sementara si bajingan hidup di sebuah perkampungan dekat pasar. Karena di daerah pasar, tentu saja ramai dan hidup banyak orang dengan berbagai latar belakang. Si bajingan itu adalah preman pasar yang pekerjaannya memalak para pedagang.

Secara syariat, tentu saja bajingan ini jauh dari predikat sebagai hamba yang baik. Ia justru menjadi "sampah" di masyarakat.

Kisah pemutarbalikan "status" kemuliaan di hadapan Allah ini bermula ketika suatu hari si orang saleh turun dari pegunungan dan pergi ke pasar guna membeli kebutuhan hidupnya. Entah beras, lauk pauk atau sayur mayur.

Di perjalanan si orang saleh dan si bajingan ini berjumpa, namun dalam jarak yang agak jauh. Dua orang yang sudah saling tahu perilaku masing-masing itu tidak bertegur sapa. Sebaliknya, mereka justru tampak saling membuang muka.

Secara fisik, perilaku keduanya sama. Sama-sama membuang muka, namun motif atau niat yang ada di hati mereka yang justru berbeda.

Si orang saleh yang sudah merasa bersih dan banyak berbuat kebajikan di hadapan Allah itu membuang muka karena memandang hina si bajingan, sementara si bajingan merasa malu untuk menatap orang saleh karena merasa dirinya kotor. "Saya terlalu kotor, saya tidak pantas melihat wajah orang saleh itu," begitu bisik hati si bajingan.

Menurut Kiai Azaim, seketika itu Allah membalikkan status keduanya. Si bajingan menjadi orang mulia yang kemudian menjadi orang bertaubat dan si orang saleh menjadi orang hina karena kesombongannya memandang orang lain.

Karena itu, ulama muda yang juga dikenal sebagai penyair ini mengingatkan agar kita selalu membaca doa, "Yaa muqollibal quluub". Artinya, "Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati".

"Tapi jangan berhenti di yaa muqollibal quluub itu. Teruskan dengan "tsabbit qolbi 'alaa diinika," katanya.

Arti dari doa tsabbit qolbi 'alaa diinika itu kurang lebih,"Teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu".

Baca juga: "Nasyid Nasihat", lagu baru Snada yang jenaka tapi penuh pesan

Baca juga: Mereka yang bangkrut di Hari Kiamat

Sementara itu, dalam cerita-cerita sufi, untuk menjaga "gerak" hati itu kita diingatkan agar selalu berprasangka baik ketika menyaksikan keburukan yang dilakukan oleh orang lain.

Misalnya, ketika kita melihat seorang pelacur atau bahkan maling, hati kita harus selalu berprasangka baik, bukan sebaliknya yang justru menjebak kita pada keadaan sombong. Kaum sufi mengingatkan kita untuk berpikir bahwa kita harus menghormati si maling atau pelacur. "Jangan-jangan mereka nanti justru di akhir hidupnya menjadi orang yang sangat saleh kemudian meninggal dalam kondisi husnul khotimah (baik akhirnya)," begitu pesan dari kaum sufi itu.

Selain itu, kisah yang disampaikan oleh Kiai Azaim di atas juga mengingatkan bahwa kewajiban kita sebagai umat Islam hanya menjalankan perintah dari menjauhi larangan Allah, sementara penilaiannya, sudah merupakan hak prerogatif Allah.

Dalam suatu kisah, Nabi Muhammad mengingatkan sahabatnya bahwa tidak seorang pun masuk surga karena amalnya, melainkan karena kasih sayang Allah.

Sahabat bertanya, "Engkau pun tidak, ya Rasul?" Beliau menjawab, "Saya pun tidak, kecuali berkat rahmat Allah kepadaku."

Hadits yang dikutip dari https://islam.nu.or.id ini memberi pesan bahwa urusan baik atau buruk itu hanya Allah yang berhak menilai. Bahkan, lebih tinggi lagi, untuk urusan surga dan neraka juga urusannya Allah.

Di akhir Bulan Suci Ramadhan dan pandemi COVID-19 yang belum berakhir ini, kita dihadapkan pada dua realitas pilihan masyarakat untuk beribadah. Ada yang memilih teguh dengan prinsipnya untuk tetap beribadah (tarawih dan Shalat Idul Fitri) di masjid, sementara yang lainnya memilih melaksanakan imbauan pemerintah untuk beribadah di rumah bersama keluarga.

Di media sosial, dua pilihan itu seringkali diperdebatkan. Bagi yang tetap beribadah di masjid dinilai tidak mematuhi anjuran pemerintah, bagi yang beribadah di rumah dinilai lebih takut pada penyakit daripada takut kepada Allah. Keduanya tidak perlu dipertentangkan, asal tetap memperhatikan keselamatan bersama dan protokol kesehatan. Kita tidak perlu membanggakan pilihan ibadah, bahkan termasuk kuantitasnya, atas ibadah orang lain. Pada akhirnya hanya Allah yang tahu kualitas ibadah kita.

Baca juga: Mengikhlaskan kenyataan

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020