Jakarta (ANTARA News) - "Jangan bawa komodo dari NTT. Hanya itulah kekayaan kami yang tidak dimiliki oleh negara manapun di dunia". Begitu bunyi pesan singkat dari seorang warga Manggarai Barat kepada ANTARA News belum lama ini.

Yohanes Sehandi, si pengirim SMS itu hanya ingin menunjukkan reaksinya sebagai warga Nusa Tenggara Timur atas rencana pemerintah memindahkan sepuluh ekor komodo ke Bali.

Pemerintah pusat melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.384/Menhut-II/2009 tanggal 13 Mei 2009, mengizinkan 10 ekor komodo dari Cagar Alam Wae Wu`ul di Manggarai Barat untuk dipindahkan ke Taman Safari di Pulau Bali.

Alasannya, untuk menyelamatkan komodo yang terancam punah di habitatnya.

Keputusan ini tidak saja ditolak pemerintah dan warga NTT, tetapi juga pemerintah dan masyarakat Bali sebagai daerah konservasi komodo.

Gubernur NTT Frans Lebu Raya menegaskan, rakyat di wilayah kepulauan ini menolak rencana pemindahan komodo dari habitat aslinya ke tempat lain, karena binatang purba ini adalah aset wisata NTT bernilai jual internasional.

Dia mengungkapkan, pemerintah provinsi NTT memang mendukung upaya Menteri Kehutanan dalam memulihkan genetik komodo dari ancaman kepunahan, namun bukan berarti itu harus dilakukan di luar wilayah NTT.

Oleh karena itu, pemerintah provinsi dan rakyat NTT tegas menolak rencana pemulihan genetik komodo itu dilakukan di Bali.

"Semua suara penolakan pemindahan sepuluh ekor komodo ke Taman Safari Indonesia di Bali itu sudah disampaikan ke Menteri Kehutanan dalam rapat bersama beberapa waktu lalu," katanya.

Sementara Wakil Gubernur NTT Esthon L. Foenay menanyakan keabsahan SK Menteri Kehutanan tertanggal 13 Mei 2009 tentang Pemberian Izin Menangkap 10 ekor bernama latin Varanus komodoensis itu.

Esthon menyebut surat itu tidak ditembuskan ke Gubernur NTT dan tidak ditandatangani Menteri Kehutanan MS Kaban, sedangkan pada kolom tanda tangan, hanya diisi tertanda (ttd).

Sedangkan di bagian kiri surat ditulis salinan sesuai aslinya yang ditandatangani Kepala Biro Hukum dan Organisasi, Suparno.

Ia menandaskan, komodo yang baru akan ditangkap di Wae Wu`ul dan Riung harus dikembalikan ke habitatnya di Pulau Komodo atau Taman Nasional Komodo (TNK) agar sesuai karakter wilayah dan masyarakat.

"Apalagi Komodo merupakan aset wisata kebanggaan NTT," katanya.

Permintaan pemerintah NTT itu beresonansi dengan DPRD NTT dan Bali yang bersepakat mendesak Menteri Kehutanan MS Kab`an untuk mencabut keputusannya tentang pemindahan 10 ekor Komodo dari habitatnya di Pulau Komodo ke Bali yang disebut untuk memurnikan genetikanya di Taman Safari, Bali.

"Kami bersama DPRD Bali sudah sepakat meminta Menhut segera mencabut SK pemindahan komodo ke Taman Safari Indonesia di Bali untuk proses pemurnian genetika," kata Wakil Ketua Komosi A DPRD NTT Jonathan Kana.

Warga NTT menolak tegas proses pemindahan komodo tersebut, karena proses pemurnian genetika justru mesti dilakukan di habitatnya komodo di TNK.

Kana mengatakan, dalam pertemuan antara Ketua DPRD NTT, Melkianus Adoe bersama Komisi B DPRD NTT dengan Ketua DPRD Bali, beberapa waktu lalu, kedua provinsi sepakat menolak pemindahan komodo ke Bali.

Kedua lembaga legislatif daerah ini juga bersepakat meminta Menteri Kehutanan MS Kab`an untuk mencabut SK pemindahan sepuluh komodo itu.

Dia mengatakan, Bali sudah memiliki pesona wisata yang sangat dikagumi dunia, sehingga tidak perlu lagi mendatangkan Komodo dari habitatnya ke Pulau Dewata.

"DPRD Bali mendukung komodo tetap berada di habitatnya karena sudah menjadi ikon Provinsi NTT dan menjadi salah satu nominasi tujuh keajaiban dunia," katanya.

Dia bahkan menyebut pemindahan komodo ke Bali sebagai bagian dari upaya menggagalkan prakarsa komodo menjadi salah satu tujuh keajaiban dunia.

Sebagai respons atas penolakan pemindahan komodo ke Bali itu, pada 12 Agustus 2009, Menteri Kehutanan menggelar rapat koordinasi.

Rapat yang dipimpin Menteri Kehutanan H.M.S Kaban itu dihadiri wakil Pemerintah Daerah NTT, Bupati Manggarai Barat, LIPI, Pakar IPB dan UGM, Kementerian Lingkungan Hidup, Taman Safari Indonesia (TSI), Dirjen Pemasaran Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA).

Rapat lalu memutuskan membentuk tim kaji lapangan yang melibatkan Pemda, LSM, Pemerintah Pusat, pakar, LIPI, Kementerian Lingkungan Hidup, TSI, dan pihak terkait lainnya.

Tim kaji ini nanti akan memberikan rekomendasi kepada Menhut mengenai menindaklanjuti Surat Keputusan Menteri yang telah dikeluarkan itu. (*)

Oleh Bernadus Tokan
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009