Jakarta (ANTARA) - Jumlah kasus konfirmasi positif harian di Indonesia mencapai rekor tertingginya menjelang Hari Raya Idul Fitri 1441 H, yaitu hampir seribu atau tepatnya 973 kasus positif baru per tanggal 21 Mei 2020 berdasarkan data yang disampaikan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.

Penambahan kasus positif baru tersebut naik signifikan dibanding hari sebelumnya yang juga sempat mencapai level tertinggi, yaitu 693 kasus baru per hari, di mana sebagai perbandingan biasanya penambahan kasus baru hanya berkisar antara 300 hingga 400-an kasus pada hari-hari sebelumnya.

Lonjakan kasus yang tinggi tersebut bukanlah dikarenakan bertambah banyaknya pemeriksaan yang dilakukan, namun benar-benar pertambahan kasus positif baru. Pada tiga hari sebelumnya tes yang dilakukan oleh pemerintah tetap stabil, yaitu di sekitar 6 ribu pemeriksaan per harinya.

Menariknya, pertambahan kasus baru ini tidak lagi berasal dari DKI Jakarta yang sempat menjadi episentrum virus corona di Indonesia, melainkan yang terbanyak berasal dari Jawa Timur dan Jawa Barat. Pada laporan kasus tanggal 20 Mei dan 21 Mei disebutkan Provinsi Jawa Timur yang paling banyak disusul Jawa Barat yaitu 119 dan 176, serta 502 dan 86. Sementara jumlah kasus baru di DKI Jakarta terlihat menurun pada tanggal yang sama yaitu 81 dan 65 kasus baru per hari.

Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dr Iwan Ariawan, MSPH telah memperkirakan pertambahan kasus tersebut melalui pemodelan yang dibuat oleh Tim Pemodelan COVID-19 FKM UI dengan melihat pergerakan penduduk keluar dari Jabodetabek ke wilayah lain di Pulau Jawa.

Meskipun pemerintah telah melarang masyrakat untuk mudik, tepi sepertinya imbauan itu hanya berlaku bagi sebagian orang, sementara sebagian yang lain tetap bersikeras pulang ke kampung halaman menjelang Lebaran.

Iwan mengutip data pergerakan penduduk dari Facebook Geoinsight yang mengungkapkan ada pengurangan penduduk di Jabodetabek sebesar 1,2 juta orang dari 34,9 juta orang pada Januari hingga Maret 2020 menjadi 33,7 juta orang pada 5 April 2020. Penurunan penduduk tersebut terus terjadi menjadi 33,2 juta pada 19 April. Artinya ada pengurangan 500 ribu orang. Berkurangnya penduduk ini disebabkan oleh perpindahan yang kemungkinan besar adalah mudik.

Berdasarkan pemodelan yang dilakukan oleh tim FKM UI itu menunjukkan akan terjadi peningkatan kasus di Pulau Jawa di luar wilayah Jabodetabek. "Peningkatan kasus antara mudik dan tanpa mudik di Jabodetabek tidak berbeda jauh. Tapi di Pulau Jawa non-Jabodetabek ada peningkatan," kata Iwan.

Perkiraan hasil pemodelan tersebut terbukti benar dengan peningkatan kasus yang signifikan di Jawa Timur dan Jawa Barat sementara kasus baru di wilayah Jakarta tetap stabil atau cenderung menurun.

Iwan juga memperkirakan jumlah peningkatan kasus mulai terjadi pada minggu kedua di bulan puasa dan akan melonjak signifikan menjelang Hari Raya Idul Fitri dengan puncaknya pada saat Lebaran. Berdasarkan pemodelan yang dilakukan estimasi kasus bisa melewati 20.000 kasus, menuju 30.000 hingga 40 ribu kasus pada puncaknya saat Hari Raya Idul Fitri. Pemodelan yang dibuat itu lagi-lagi telah membuktikan bahwa kasus positif COVID-19 di Indonesia telah melampaui 20.000 kasus per 21 Mei 2020.

Pakar epidemiologi dari FKM UI dr Pandu Riono, MPH, Ph.D menyebutkan sebenarnya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dilakukan pemerintah pada sejumlah wilayah tidak sia-sia. Berdasarkan data pergerakan penduduk yang diambil dari Google Mobility Index dan disandingkan dengan angka pertumbuhan kasus, terjadi penurunan kasus yang dilaporkan ketika banyak warga mematuhui untuk berdiam diri di rumah selama dua bulan belakangan.

Pandu mengambil contoh kasus di DKI Jakarta di mana terjadi penurunan pergerakan penduduk sebanyak 60 persen pada Maret, April, dan Mei yang kemudian membuat kasus positif baru di masyarakat menurun. Namun penurunan jumlah kasus baru belum berdampak pada tingkat nasional di mana hanya 50 persen orang yang tinggal diam di rumah. Pandu menyimpulkan dampak penurunan kasus baru akan terjadi ketika lebih dari 60 persen masyarakat mematuhi PSBB dengan diam di rumah.

Dia juga mengungkapkan meskipun tidak seluruhnya wilayah di Pulau Jawa menerapkan PSBB secara resmi melalui persetujuan Kementerian Kesehatan, namun masyarakat secara mandiri telah membatasi pergerakannya meski di wilayah tempat tinggalnya tidak menerapkan kebijakan PSBB.

Akan tetapi data menunjukkan bahwa pergerakan masyarakat kembali meningkat pada bulan Ramadhan. Pandu berpendapat masyarakat yang mulai jenuh dengan PSBB, kini lebih banyak keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan selama Ramadhan.

Satu hal yang sangat diwanti-wanti oleh epidemiolog adalah ketika perayaan Hari Raya Idul Fitri 1441 H di Indonesia yang merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Perpindahan penduduk yang mulai meningkat pada bulan Ramadhan akan memuncak pada perayaan Lebaran di mana pergerakan masyarakat akan lebih sulit dikendalikan.

Apabila masyarakat tidak mematuhi protokol kesehatan saat bersilaturahmi pada Hari Raya Idul Fitri, yaitu tetap bersalaman, tidak menjaga jarak, tidak memakai masker, berkerumun, maka momen Lebaran yang tetap konvensional tersebut sangat mungkin meningkatkan faktor risiko penularan virus COVID-19 di masyarakat.

Pada era new normal seperti saat ini, di mana virus COVID-19 masih tetap ada di bumi sebelum ditemukan vaksin yang tepat, maka penerapan protokol kesehatan pencegahan penyebaran virus menjadi hal yang wajib dilakukan dan tidak bisa ditawar lagi untuk bisa bertahan hidup.

Iwan juga mengingatkan tentang akan terjadinya wabah virus corona episode kedua di Indonesia pascalebaran, yaitu pada saat terjadi arus balik dari berbagai daerah di Pulau Jawa ke Ibu Kota. DKI Jakarta yang telah berhasil menekan laju pertumbuhan virus bisa jadi kembali melonjak ketika penduduk dari berbagai wilayah yang terinfeksi dengan lonjakan kasus kembali lagi ke Ibu Kota.

"Kami asumsikan ini 20 persen saja penduduk Jabodetabek yang mudik akan kembali. Kemudian seperti mudik pada umumnya yang akan membawa teman dan keluarga ke kota, asumsinya akan ada tambahan 25 persen. Jadi ada sekitar tambahan 15 ribu orang yang butuh perawatan di rumah sakit Jabodetabek," kata Iwan.

Baca juga: Putuskan rantai COVID-19, tahan diri untuk tidak mudik

Iwan menerangkan bahwa virus COVID-19 tidak akan mudah habis begitu saja. Bahkan, ketika nantinya vaksin sudah ditemukan pun, akan ada hal besar yang perlu dilakukan untuk menghentikan penyebaran COVID-19, yaitu mencapai kekebalan kelompok atau herd immunity.

Virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 baru tidak bisa berkutik ketika terjadi kekebalan kelompok di masyarakat. Kekebalan kelompok dicapai dengan syarat sebanyak 80 persen dari sebuah populasi telah memiliki kekebalan dari vaksin atau antibodi alami setelah terinfeksi. Artinya, sebanyak 80 persen dari 260 juta penduduk Indonesia atau sekitar 200 juta warga harus tercakupi vaksin.

Baca juga: Komunitas Trooper serukan tidak mudik lebaran

Iwan meyakini masih akan ada puncak-puncak kecil atau bahkan besar pelonjakan kasus sepanjang perjalanan penyebaran COVID-19 sampai ditemukannya vaksin. Oleh karena itu adanya kebijakan PSBB tujuannya adalah untuk menekan jumlah kasus supaya tidak terjadi wabah susulan di kemudian hari.

Pandu menyebut bahwa pembatasan sosial sebenarnya tidak akan pernah bisa dicabut. Dalam artian, pembatasan sosial secara mandiri yang dilakukan oleh komunitas, yaitu dengan cara menerapkan perilaku dan pola hidup yang baru.

Baca juga: Ketua Gugus Tugas: Sekali lagi tidak ada mudik

Untuk dapat bertahan dari virus, manusia tidak bisa hidup seenaknya seperti sebelum munculnya COVID-19 hingga vaksin benar-benar ditemukan. Atau virus itu sendiri yang bermutasi menjadi lebih lemah melawan kekebalan tubuh manusia sebagaimana flu musiman.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020