Jakarta, (ANTARA News) - Kalau lakon "Waiting for Godot" (Menunggu Godot) karya sastrawan Inggris Samuel Beckett memproklamasikan kondisi manusia tertekan dalam penantian tidak berujung, maka empat raksasa (The Big Four) Liga Primer memproklamasikan hati yang menghapus aneka kegamangan dan mengusir serba ketidakjelasan jagat kehidupan.

Semesta bola menawarkan oase nilai penyembuhan dari luka-luka batin. Kalau salah satu dialog dalam Godot memanggungkan tokoh Estragon yang mengucapkan tiga kata yakni "nothing to be done" (tidak ada gunanya), maka Manchester United (MU), Liverpool, Chelsea, Arsenal sama-sama melafalkan jalan keluar dari kebuntuan dengan menawarkan perimbangan antara keputusasaan dan harapan.

Bukankah momen laga bola membuahkan kelegaan karena ada penghiburan. Ini proklamasi hati "The Big Four".

"Tidak ada lagi yang bisa dilakukan di sini," kata tokoh Vladimir, seperti dinukil dari buku berjudul Godot di Amerika dan Indonesia tulisan pakar pengkajian seni pertunjukan Bakdi Soemanto. Jawab Estragon dengan tegas, "Di mana-mana sama saja (Nor anywhere else)". Inikah luka batin khas manusia kontemporer? Pertanyaan ini bagaikan sumur tanpa dasar.

Saat menapaki musim kompetisi Liga Primer 2009/2010, empat dedengkot Liga Primer itu memproklamasikan tiga nilai mendasar dari kemanusiaan, yakni pembebasan dari rasa takut (athambia), tanpa penjelasan logis (aphasia) dan tanpa emosi (aphathia).

Bukankah pesona momen laga bola dalam Liga Primer mengaduk emosi dan menguji argumentasi. Ini jawaban atas pertanyaan seputar luka batin manusia kontemporer.

Baik "The Red Devils" maupun "The Blues" telah melakonkan laga ketika memasuki musim kompetisi dengan mengusung panji Community Shield pada Agustus 2009. Sejak saat itu, aroma konfrontasi menebar di langit Britania, menyesaki kolong dunia bagi siapa saja yang mendamba selaksa asa mulai 15 Agustus 2009 sampai dengan 9 Mei 2010. Setan Merah bersorak, "Glory! Glory MU!" Dan Chelsea berseru, "Ini momen hati!"

Akankah musim 2009/2010 masih milik keempat tim adidaya itu? Akankah Liverpool mampu mengakhiri 20 tahun penantian panjang untuk menyabet gelar Liga Primer agar publik Anfield menebar suka? Roda nasib mulai bergulir pada Sabtu waktu setempat (15/8).

Situasinya bak drama kotak Pandora yang segera terbuka. "Siapa kau ini? Dan dari mana kau datang," tanya Epimetheus kepada Pandora dalam legenda Yunani kuno.

Hati sang kampiun Liga Primer musim 2008/2009, Manchester United bertabur asap dupa kemegahan gelar. Sosok Sir Alex Ferguson punya karisma. Pria kelahiran Glasgow, Skotlandia, 31 Desember 1941, mengukuhkan diri sebagai salah satu pelatih sukses di bawah kolong langit.

Hebatnya, ia memotivasi pasukan Setan Merah dengan ujaran populer, yakni berpikirlah dan bertindaklah argumentatif, bukan mengandalkan kekuasaan wangsit, apalagi mengajukan katabelece. Puih!

Rasionalitas ala Fergie membuahkah 11 gelar juara Liga Pimer. Memang, Old Trafford tidak lagi menampilkan kepak sayap Cristiano Ronaldo, tetapi Wayne Rooney tidak kalah memesona. Belum lagi, mata Fergie terus mengerling empat kali berturut-turut gelar Liga Primer (2007, 2008, 2009), dan melewati rekor Liverpool dengan 18 kali juara Liga Primer. Hati Fergie sarat ambisi terukur, bukan emosi tanpa dasar.

Selain Rooney, Fergie mengandalkan Dimitar Berbatov dan Antonio Valencia, selain Michael Owen. Bagaimana dengan laskar yang tidak lagi muda usia, misalnya Ryan Giggs dan Paul Scholes? Akankah Rio Ferdinand dan Nemanja Vidic siap berduel? Akankah Ben Foster akhirnya menerima suksesi dari kiper gaek Edwin van der Sar? Pertanyaan besarnya, siapa pengganti yang memadai sepeninggal CR7?

The Reds? Selisih empat poin di belakang Setan Merah pada musim lalu membakar niat pelatih Liverpool Rafael Benitez untuk menjadikan musim 2009/2010 sebagai "perfect season".

Tentunya, pelatih asal Spanyol itu terlecut oleh tujuh kali hasil imbang ketika menjalani laga kandang pada musim lalu. Meskipun sempat diterpa badai finansial, Rafa dikarunia skuad yang relatif tahan banting. Hati Rafa terpaut kepada satu kata saja: kesempurnaan.

Glen Johnson siap menyalak. Gaya permainannya tidak sebatas bek pada umumnya. Pemain bernama lengkap Glen McLeod Cooper Johnson itu piawai meneror barisan belakang lawan. Jika duet kelas dunia Steven Gerrard dan Fernando Torres masih punya taji, maka Liverpool tidak perlu mengubur cita-cita "menjadi yang terbaik". Yang sempurna milik Rafa, yang terbaik milik personel The Reds. Sebuah kombinasi yang mendekati kerinduan hati.

Hati Chelsea pun berpaut kepada mantan pelatih AC Milan Carlo Ancelotti. Ambisi pelatih asal Italia ini, membawa The Blues menjuarai Liga Champions. Untuk menahan laju ambisi Setan Merah, Chelsea mengandalkan sederet pemain berpengalaman - John Terry, Frank Lampard, Didier Drogba dan Michael Essien - dengan catatan mereka fit benar.

Anatomi Chelsea: semenjana di lini belakang, rapuh di lini tengah dan luar biasa di lini depan. Skuad ini juga punya kekuatan mental ekstra. Tinggal sekarang, apakah hati Ancelotti bergegas mentransformasi dari aura Serie A menuju aura Liga Primer?

Transformasi? Sisi ini pula yang diandalkan pelatih The Gunners, Arsene Wenger ketika didaulat bersaing dengan tiga musuh bebuyutan lainnya. Hengkangnya Emmanuel Adebayor dan Kolo Toure ke Manchester City cukup memusingkan pelatih asal Prancis itu. Proklamasi hati bagi Wenger bukan tanpa tantangan. Ia mengandalkan vitalitas muda.

Sang Profesor pun mendatangkan amunisi baru dari Ajax Thomas Vermaelen. Sebagai defender muda, pemain asal Belgia itu mengenakan ban kapten Ajax. Di lini tengah dan lini depan, Arsenal dihuni meteor Rusia Andriy Arshavin dan diperkokoh oleh bintang Negeri Kincir Angin Robin van Persie.

Musim ini juga atraktif bagi Theo Walcott karena ajang Piala Dunia jadi imin-iming spesial bagi pemain Inggris itu. Akankah geliat muda masih punya daya untuk mengukuhkan dogma bahwa mencintai yang baik sama dan sebangun dengan berhati emas?

Proklamasi hati Arsenal berselimutkan pertanyaan mendasar bahwa inti kekalahan hanyalah kedangkalan orang yang tidak mau berpikir.

Bukankah filsuf Hannah Arendt mengatakan, berpikir memaksa orang untuk mempertanyakan "apakah keberanian", "apakah kebohongan". Ketika seseorang tidak berpikir, ia tidak lagi mampu bertindak atas kemauannya. Ia ikuti saja aturan yang disodorkan, betapa pun jahat aturan itu. Ini proklamasi hati dari The Big Four.(*)

Pewarta: Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009