Jakarta (ANTARA News) - Ini kisah Ahmadi alias Ahmad Jenggot, 39 tahun. Lelaki miskin penjaga kandang ayam di sebuah desa di Cilacap Jawa Tengah, itu mengaku pernah ditawari oleh gembong teroris Noordin M Top untuk menjadi pelaku bom bunuh diri.
Ahmadi ketakutan. Ia lalu menyerahkan diri kepada aparat desa pada hari Rabu (22/7) dan langsung dijemput petugas dari pasukan Detasemen Khusus 88 Anti Teror Markas Besar Kepolisian RI. Begitu koran dan televisi memberitakan.
Masyarakat Indonesia lega. Kalau saja Ahmadi tidak menyerah, mungkin ada bom yang meledak lagi. Entah dimana dan membawa korban mati berapa. Untunglah tindakan teror biadab itu tidak terjadi.
Tapi, berapa banyak orang yang ditawari, dipersiapkan, dan dicuci otaknya, untuk menjadi pelaku bunuh diri kemudian menolak dan menyerah seperti Ahmadi?. Lumayan banyak jumlahnya.
Danni Dwi Permana (18) tahun dan Nana Maulana (25) adalah "pengantin" (istilah bagi calon pelaku bom bunuh diri) terakhir. Danni, warga Talaga Kahuripan Bogor, dipastikan oleh polisi sebagai pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriott. Sedangkan Nana, warga Pandeglang, adalah pelaku bom, bunuh diri di Hotel Ritz-Carlton pada 17 Juli 2009.
Kalau saja Ibrohim, yang bekerja sebagai penata bunga, tidak disergap di Temanggung, lalu Air Setyawan dan Eko Joko Sarjono tidak ditembak mati Densus 88 di Jatiasih, Bekasi, kemungkinan teror bom yang lebih dahsyat bisa terjadi. Polisi menyatakan kelompok teroris menyiapkan bom mobil untuk menyerang iring-iringan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas dan Istana.
"Mereka menyiapkan serangan dua minggu ke depan," kata Kapolri Bambang Hendarso Danuri saat meninjau lokasi penyergapan di Perumahan Puri Nusaphala Blok D/12, Jatiasih, Bekasi.
Yang mengherankan banyak orang adalah mengapa ada orang yang mau direkrut menjadi pelaku bom bunuh diri? Mengapa ada orang yang mau melakukan tindakan teror dan kekerasan atas nama agama?
Tugas mulia?
Prof Bruce Hoffman, penulis buku "Inside Terrorism", mengatakan kekerasan dan terorisme sering dianggap oleh para pelakunya sebagai "tugas mulia" atau "perbuatan suci".
Inilah yang mengakibatkan daya hancur dan pertumpahan darah yang diakibatkan oleh teroris berlatar agama lebih dahsyat dari yang dilakukan oleh teroris sekuler, misalnya kelompok separatis yang menuntut kemerdekaan wilayahnya.
Menurut Hoffman, kaitan antara agama dan terorisme bukanlah barang baru. Itu sudah terjadi sepanjang sejarah. Lebih dari ribuan tahun lalu, perbuatan pertama dari apa yang disebut sebagai "terorisme" sekarang, justru dilakukan oleh kelompok fanatik agama dan bukan oleh kelompok teroris sekuler.
Buktinya, kata-kata dalam Bahasa Inggris yang digunakan untuk menggambarkan teroris dan sikap tindaknya berasal dari nama-nama kelompok teroris Yahudi, Hindu, Muslim, yang terkenal keganasannya ribuan tahun lalu.
Ambil contoh kata Zealot yang dalam kamus diartikan sebagai "orang yang fanatik" atau "pengikut yang setia sekali". Kata Zealot berasal dari nama Sekte Yahudi tahun 66-73 Masehi yang berperang melawan Kerajaan Romawi yang menduduki wilayah yang disebut Israel sekarang ini.
Para Zealot ini terkenal kejam bukan hanya karena mereka melakukan aksinya dengan pisau belati tradisional bernama "sica", tetapi juga pembunuhan yang dilakukannya selalu di depan umum, di tempat keramaian atau pasar.
Seorang Zealot bisa muncul tiba-tiba di tengah keramaian pasar, mencabut belati dari balik bajunya, lalu dengan dramatis disaksikan orang sepasar, ia menggorok leher pejabat Romawi atau orang Yahudi yang dianggap telah berkhianat atau bersekongkol dengan musuh.
Jadi, jauh sebelum era siaran langsung televisi CNN atau berita online internet, kekerasan sadis di muka publik yang dilakukan para Zealot itu dirancang untuk menyebarkan teror ke khalayak yang lebih luas, yaitu pejabat pemerintahan pendudukan Romawi dan orang Yahudi yang berkolaborasi dengan Romawi.
Penjahat yang kejam
Sama dengan Zealot, kata "Thug" yang dalam kamus berarti "penjahat yang kejam", juga berasal dari sekte agama Hindu abad ke-7 yang telah menteror India sampai diberantasnya keberadaan sekte itu pada pertengahan abad ke-19.
Para Thug terlibat dalam pembunuhan berlatar agama yang bertujuan untuk memuja "Kali", dewa penghancur agama Hindu. Pada hari-hari yang dianggap suci sepanjang tahun, kelompok fanatik ini mengincar calon korbannya untuk dibunuh guna dipersembahkan kepada Kali.
Menurut catatan sejarah, kelompok Thug telah membunuh jutaan orang selama 12 abad keberadaan sekte mereka atau 800 orang setiap tahunnya. Suatu angka pembunuhan yang sangat tinggi yang jarang bisa ditandingi oleh kelompok teroris modern sekarang ini yang bersenjatakan lebih canggih dan lebih mematikan.
Sementara kata Inggris Assassin (di kamus berarti orang yang mencabut nyawa orang lain dengan kekerasan) adalah nama dari sekte radikal Muslim "Syiah Mazhab Ismaili" yang berperang pada 1090 sampai 1272 untuk mengusir Pasukan Salib Kristen yang berusaha untuk menaklukkan wilayah Suriah dan Iran sekarang.
Secara harfiah, Assassin yang berasal dari bahasa Arab berarti "pemakan hashish" atau "mariyuana" atau mungkin istilah sekarang "shabu-shabu". Ini merujuk pada upacara ritual "nyabu" dari seorang anggota sekte sebelum melaksanakan tugas pembunuhan yang harus dilakukannya.
Si calon pembunuh atau sering disebut sebagai "pengantin" dibiarkan fly setelah diberi hashish dan selama "teler" itu pikirannya membayangkan serba yang indah-indah. Itulah bayangan surga dan keindahan yang bakal diterima seorang "Assassin" setelah melaksanakan tugas sucinya melaksanakan pembunuhan terhadap pasukan Salib.
Makin berkembang
Ternyata, anak pinak dari kaum Zealot, Thug dan Assassin masih berkembang sampai sekarang, bahkan makin banyak dan makin kejam. Kematian Dr. Azahari dan perburuan terus menerus terhadap Noordin M Top ternyata tidak mengendorkan kegiatan terorisme. Teroris-teroris baru bermunculan, bahkan bisa merekrut jaringan baru dan orang-orang yang lebih muda.
Sulit membayangkan sebelumnya bahwa ternyata pelaku bom bunuh diri di Tanah Air adalah anak-anak muda yang baru gede atau pemuda di bawah 30 tahunan. Mereka dikenal oleh para tetangga sebagai orang baik dan alim, pengurus atau aktivis tempat ibadah. Keluarga dan tetangga baru terkaget-kaget ketika polisi mengumumkan bahwa mereka terkait atau menjadi tersangka peledakan bom.
Sangat disayangkan bahwa agama dijadikan alasan untuk merekrut pelaku bom bunuh diri. Bagi teroris berlatar agama, kekerasan adalah tindakan suci yang didasarkan pada pemahaman atas kewajiban menjalankan ajaran agamanya dan penafsiran atas perintah Tuhan. Sungguh sesat dan menyesatkan. (*)
Oleh Oleh Akhmad Kusaeni
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009