Jakarta (ANTARA) - Meski Komisi Yudisial tidak lagi melayani pelaporan langsung, lembaga tersebut telah menerima laporan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH) sebanyak 474 laporan selama Januari-April 2020.
"Meski ada peralihan pelayanan tatap muka menjadi daring, pola pelayanan Komisi Yudisial kepada publik tidak berubah, terlihat dari penerimaan laporan yang disampaikan masyarakat kepada Komisi Yudisial," ujar Anggota Komisi Yudisial Farid Wajdi dalam konferensi video, Rabu.
Laporan paling banyak disampaikan melalui pos, yakni sebanyak 258 laporan, kemudian melalui platform daring sebanyak 136 laporan, langsung sebanyak 49 laporan dan pemberian informasi 4 laporan.
Baca juga: KY tunda seleksi calon hakim agung
Baca juga: KY sebut tiada penurunan drastis laporan selama wabah COVID-19
Baca juga: Anggota KY buka seluk-beluk pengawasan hakim
Untuk badan peradilan yang paling banyak dilaporkan adalah peradilan umum sebanyak 333 laporan, disusul peradilan agama 41 laporan, Mahkamah Agung 25 laporan dan lain-lain.
Daerah terbanyak dalam menyampaikan laporan dugaan pelanggaran etik tetap DKI sebanyak 89 laporan, kemudian Jawa Timur 60 laporan, Sumatera Utara 55 laporan, Jawa Tengah 48 laporan dan Jawa Barat 33 laporan.
Dari 474 laporan yang masuk, sebanyak 60 laporan telah diregistrasi. Farid menjelaskan terdapat perbedaan dalam penerimaan berkas dan registrasi berkas, yakni berkas yang sudah diregistrasi dipastikan sampai pada proses laporan pendahuluan, sidang panel laporan hasil pemeriksaan dan berakhir di sidang pleno.
Ia mengatakan 75 persen laporan yang disampaikan ke Komisi Yudisial setelah dilakukan pemberkasan tidak terbukti, di antaranya karena bukan kewenangan Komisi Yudisial serta pelapor mau pun yang dilaporkan tidak jelas identitasnya.
"Di samping itu, laporan yang masuk tidak terbukti bukan karena perbuatannya tidak ada. Bisa laporan yang ada tidak ada bukti atau tidak cukup bukti," ucap Farid Wajdi.
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020