Nairobi (ANTARA) -
Warga Burundi mengikuti pemilihan presiden pertamanya, Rabu, sejak perang saudara pecah pada 1993, meskipun saat ini negara itu menghadapi ancaman penularan virus corona jenis baru (SARS-CoV-2), penyebab penyakit COVID-19.
Selama pilpres berlangsung, komisi pemilihan umum meminta warga menjaga perdamaian dan ketertiban, mengingat adanya perselisihan antarkubu dan ancaman pandemi.
Presiden Pierre Nkurunziza, yang kerap dituduh terlibat berbagai pelanggaran hak asasi manusia, akan mundur dari jabatannya setelah berkuasa selama 15 tahun. Partai pendukungnya, CNDD-FDD, mengusung pensiunan jenderal, Evariste Ndayishimiye, sebagai calon presiden.
Pesaing Ndayishimiye merupakan seorang ketua partai oposisi, Agathon Rwasa, serta lima calon lain dari partai berbeda.
"Kami mengajak masyarakat Burundi menggunakan hak pilihnya dan menjaga pilpres tetap damai. Kita perlu menjaga pemilihan presiden ini berjalan lancar," kata Ketua Komisi Pemilu Burundi (CENI), Pierre Claver Kazihise, saat diwawancara oleh RTNB.
"Pemilih diminta langsung pulang setelah menggunakan hak pilihnya. Tidak boleh ada perkumpulan massa di dekat bilik suara," kata dia.
Pilpres hari ini (20/5) diharapkan banyak pihak jadi transisi menuju pemerintahan demokratis setelah Burundi merdeka 58 tahun yang lalu.
Warga dapat memilih presiden baru setelah Nkurunziza menerima tekanan komunitas internasional saat ia kembali mencalonkan diri untuk jabatan periode ketiga pada 2015.
Oposisi mengatakan keikutsertaan Nkurunziza dalam pemilihan presiden melanggar kesepakatan damai yang mengakhiri perang saudara. Rival politik Nkurunziza pun memboikot pemilihan presiden pada 2015.
Tidak hanya itu, pilpres pada tahun itu turut memicu aksi massa yang menyebabkan ribuan warga Burundi hidup dalam pengasingan. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengumpulkan dokumentasi yang menunjukkan ratusan aktivis dari kubu oposisi dibunuh, disiksa, dan diperkosa.
Para pemberi donor pun menarik bantuan dana sebagai aksi protes. Namun, pemerintah menyangkal tuduhan pelanggaran HAM itu.
Rwasa, seperti Nkurunziza, mantan pimpinan kelompok pemberontak, saat kampanye terakhirnya, Minggu (17/5), memperingatkan kemungkinan kecurangan pada pilpres tahun ini.
"Kami tahu ada rencana mencurangi hasil pemilu, beberapa orang bahkan mengintimidasi pemilih, meminta kartu mereka untuk menggunakan hak pilihnya," kata Rwasa.
"Semua ini jadi sia-sia," ujar dia.
PBB dan Uni Afrika mengatakan pada Minggu mengatakan mereka "prihatin dengan laporan intimidasi dan bentrokan antarkubu".
Beberapa pengawas akan hadir dalam proses pemilihan presiden itu, tetapi mereka harus menjalani masa karantina selama 14 hari untuk mencegah penyebaran COVID-19.
Pemerintah minggu lalu mengusir kepala nasional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setelah masyarakat mengkritik otoritas setempat yang mengizinkan partai politik berkampanye di tengah pandemi.
Burundi, negara berpenduduk 11 juta orang, sejauh ini mencatat 42 orang positif tertular COVID-19 dan satu di antaranya meninggal dunia.
Akan tetapi, rendahnya jumlah pasien positif disebabkan angka pemeriksaan yang sedikit. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika, hanya ada 633 sampel COVID-19 yang diperiksa di Burundi.
Sumber: Reuters
Baca juga: Burundi jatuh ke krisis setelah seorang jenderal terbunuh
Baca juga: PBB nyatakan pemilu Burundi tidak bebas
Baca juga: Beyonce bantu UNICEF kampanye air untuk anak Burundi
Penerjemah: Genta Tenri Mawangi
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020