"Mereka terpengaruh dengan cerita dongeng yang berakhir happily ever after. Dikira modal perkawinan cukup cinta saja," kata Alissa dalam taklimat media secara daring yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang dipantau di Jakarta, Rabu.
Alissa mengatakan keinginan untuk segera kawin saat ini tidak hanya terjadi pada anak yang tinggal di masyarakat berpendidikan rendah dan ekonomi bawah, tetapi juga pada anak-anak yang tinggal di wilayah berpendidikan dan memiliki tingkat ekonomi lebih baik.
Pemahaman mereka tentang kehidupan belum cukup baik sehingga memandang perkawinan hanya dari sudut pandang bahagia saja sebagaimana terlihat dari resepsi dan foto-foto perkawinan yang terlihat indah.
Baca juga: KPAI: Wacana perkawinan anak harus ditanggapi dengan kontrawacana
"Padahal dalam perkawinan yang sebenarnya tidak seperti itu. Dalam psikologi, perkawinan harus didasari pada komitmen, kedekatan emosi, dan gairah. Tidak cukup hanya cinta. Masing-masing tahapan juga memiliki tantangan yang berbeda," tuturnya.
Baca juga: Pendidikan kesehatan reproduksi dinilai mutlak cegah perkawinan anak
Menurut Alissa, anak-anak tidak akan memahami hal tersebut. Bila tidak memahami hal itu, mereka tidak akan bisa menjalani kehidupan perkawinan yang di benak mereka penuh dengan kebahagiaan.
Baca juga: Rumah Kitab: Isu perkawinan anak bukan hanya tanggung jawab KPPPA
Alissa menjadi salah satu narasumber dalam taklimat media yang diadakan secara daring oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Selain Alissa, narasumber lainnya adalah Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosalin, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto, pemerhati media Roy Thaniago dan Ketua Forum Anak Nasional 2019-2021 Tristania Faisa.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020