Jakarta (ANTARA News) - Asia Pasifik adalah pasaraya bencana; Tengoklah lintasan tragedi ini; 26 Desember 2004, gempa bumi tektonik berkekuatan 8,9 skala richter yang disusul tsunami meluluhlantakan Nangroe Aceh Darussalam dan Nias (Indonesia), Phuket dan pulau karang Andaman (Thailand), bahkan Srilangka, India, Somalia, Tanzania, Bangladesh, Mauritus, dan Maldives.
Spektrum kerusakan dan korban yang ditimbulkan bencana itu amat dahsyat. Lebih dari 220 ribu jiwa tewas di Aceh dan Nias, sekitar 8.000 orang di Thailand, dan lebih dari 6.000 jiwa di India. Tsunami Aceh bahkan ditasbihkan sebagai salah satu bencana paling dasyat yang pernah terjadi di muka bumi pada abad ini.
27 Mei 2006, tanah Jawa berguncang, Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah rata dengan tanah. Gempa berkekuatan 5,9 skala richter telah membuat denyut hidup masyarakat Yogyakarta berhenti.
Kerusakan yang ditimbulkan juga amat parah: korban di Bantul (Yogyakarta) tercatat 31.045 orang, 4.280 orang di antaranya tewas, 13.840 orang mengalami luka berat dan luka ringan sebanyak 12,925 orang. Gempa juga telah menyebabkan 71.763 rumah hancur, 71,372 rumah rusak berat dan 73,669 mengalami rusak berat.
12 Mei 2008, pukul 14.28, sebuah gempa berkekuatan 8,0 skala richter mengguncang Wenchuan Provinsi Sinchuan, China. Menurut catatan Pusat Penanggulangan Bencana Nasional China (NDRCC), gempa Wenchuan merupakan bencana paling besar sejak Republik Rakyat China berdiri.
Gempa Wenchuan membuat kerusakan di 10 provinsi, daerah otonomi dan kabupaten di China, termasuk dinatranya propinsi Sincuan, Gansu, Shaanxi, Congqing dan Yunan.
Korban tewas yang dilumat wempa Wenchuan mencapai 69.277 jiwa, dan 17.923 orang dinyatakan hilang. Efek gempa dengan spektrum 500 ribu kilometer itu, juga dirasakan oleh 46,25 juta penduduk China.
Pemerintah China harus mengungsikan 15,1 juta rakyatnya karena sebanyak 7.967 bangunan hancur akibat gempa tersebut. Kerugiannya juga sangat fantastik, mencapai 852,3 miliar yuan, setara 125,3 miliar dolar AS. Angka itu belum termasuk kerugian ekologi,
7 Februari 2009, temperatur udara di Victoria (Australia) tiba-tiba melesat 12 hingga 18 derajat lebih tinggi ketimbang seharusnya. Kombinasi suhu udara panas, yang mencapai lebih dari 45 derajat celcius dan badai angin dengan kecepatan tinggi memicu kebakaran hebat hutan di negara bagian Victoria.
Selain menghanguskan 408 ribu hektare hutan di wilayah Horsham, Kilmore, Murrindindi, Churchill, Eaglehawk dan Beecworth, bencana itu juga menyebabkan 173 penduduk meninggal, 2.029 rumah di 25 distrik hangus, 467 kawasan budaya dan 166 tempat bersejarah hancur, dan diperkirakan lebih dari satu juta makluk hidup mati.
Di negeri pasifik lain, bencana juga datang silih berganti. Philipina, Jepang, Thailand, China Taipeh, Hongkong, dan Vietnam adalah negeri-negeri "pelanggan" badai topan dan gempa bumi.
"Inilah garis hidup yang harus ditanggung penduduk di Asia Pasifik, karena 70 persen negara di kawasan ini rawan ancaman bencana berskala besar," kata analis Bencana dari Australia, Quinton Devlin.
Letak negeri-negeri di Asia Pasifik yang berada di atas jalur pertemuan lempeng benua Euroasia dan lempeng samudra Indo-Australia dan Pasifik, memang telah membuat kawasan ini kaya akan sumber daya mineral, memiliki hutan nan lebat yang bisa menjadi patu-paru dunia, lahan subur yang menghasilkan hasil bumi melimpah, serta menjadi tempat yang nyaman bagi jutaan biota laut.
Namun kondisi itu sekaligus juga menjadikan sebagian besar negeri di Asia Pasifik menjadi pasaraya bencana.
Selain dihantui ancaman gempa tektonik, negeri-negeri seperti Indonesia, Philipina, Jepang, juga menghadapi ancaman gempa vulkanik yang disebabkan oleh gunung berapi yang bertebaran di seantero pulau-pulau.
Indonesia memiliki 500 gunung berapi, 128 di antaranya masih aktif. Indonesia juga memiliki 5.860 sungai --500 di antaranya sungai besar--, yang 30 persen di antaranya dikelilingi pemukiman yang padat. Jika hulu sungai tak lagi mampu menampung curah hujan yang demikian tinggi, niscaya bencana banjir atau longsor bakal menjadi ancaman serius bagi seluruh warga.
Saat musim kemarau tiba, negeri-negeri seperti Indonesia, Australia, Malaysia, dan Thailand juga rawan bencana kebakaran hutan.
Lalu apa yang bisa dilakukan penduduk negeri-negeri di Asia Pasifik?
Perdana Menteri Australia Kevin Rudd dan Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono berpendapat perlu ada langkah besar agar negeri-negeri di Asia Pasifik bisa terhindar dari kerugian besar apabila bencana datang.
Kedua kepala negara juga sepakat untuk mengintensifkan kerjasama untuk memperkuat kapabilitas manajemen penanggulangan bencana, agar proses pencegahan, penanggulangan, rekonstruksi dan rehabilitasi bencana bisa berjalan efektif dan rasional.
Negara-negara Asia Pasifik, yang selama ini menjadi kawasan rawan bencana, juga perlu berbagi praktik terbaik dalam penilaian kerusakan akibat bencana, agar bencana di kawasan tersebut tidak membuat masyarakat mengalami kerugian terlalu dalam.
"Negara-negara Asia Pasifik juga harus dapat menemukan model dan metode terbaik untuk penaggulangan dan penanganan pascabencana yang dapat digunakan oleh seluruh negara kawasan ini," kata Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Nasional Penanggulangan Bencana Bakri Beck, dalam "APEC Workshop on Damege Assesment Teqniques" di Yogyakarta.
"Selama ini proses penilaian besaran dampak bencana di kawasan Asia pasifik tidak konsisten dan belum dilengkapi instrumen yang rasional. Akibatnya proses penanggulangan dan rehabilitasi sering terlambat. Distribusi bantuan ke korban kerap kali juga sering salah sasaran dan kurang dibutuhkan," kata Ketua delegasi Australia dalam "APEC Workshop on Damege Assesment Teqniques", Martin Studdert.
Negara-negara Asia Pasifik, seperti Indonesia dan Australia juga memiliki kepentingan bersama untuk meningkatkan kerjasama mitigasi dan pencegahan bencana. Kerjasama ini diperlukan agar penanganan bencana di kawasan ini semakin baik.
Kerjasama ini, kata anggota delegasi Australia lain, Quinton Devlin, akan sangat membantu untuk meminimalkan kerugian dan mengefektifkan proses rehabilitasi dalam setiap bencana di Asia Pasifik.
Model-model
Berbagai bencana yang melanda kawasan Asia Pasifik memicu negara kawasan untuk mencari pengetahuan baru dan bahkan rumus baru agar penilaian bencana dapat dilakukan alurat dan cepat demi mempercepat menolong kepada korban.
Berkaca dari penanganan bencana gempa bumi di Wenchuan, pemerintah China berusaha mengembangkan suatu sistem penilaian cepat bencana, yang bisa menjadi dasar bagi tahapan rehabilitasi dan rekontruksi pascabencana.
Peneliti pada Pusat Penanggulangan Bencana Nasional (NDRCC) Kementerian Urusan Sipil, Republik Rakyat China, Dr Yuan Yi mengungkapkan, pada peristiwa gempa Wenchuan hal pertama yang dilakukan adalah menganalisis data episentrum gempa, magnitude, intensitas seismik, distribusi penduduk, dan informasi geografis dasar.
Kemudian melakukan pencitraan jarak jauh untuk menghitung efeknya kerusakan. "Demi mendapatkan data kerusakan yang lebih akurat, NDRCC juga menggunakan pesawat tanpa awak untuk mengambil citra (gambar) detail tentang kerusakan," ujarnya.
"Data-data itu kita olah untuk memetakan kerugian, termasuk di dalamnya menghitung berapa bangunan yang hancur, berapa banyak warga yang akan kehilangan rumah tinggal, berapa penduduk yang harus dievakuasi dan dipindahkan," ujarnya.
NDRCC juga telah mengembangkan rumusan indeks bencana komposit (CDI) yang menghasilkan sejumlah variabel kerusakan yang ditimbulkan bencana, termasuk kerugian ekonomis dan ekologis. "Rumusan indeks ini mungkin dapat diadopsi oleh negara Asia Pasifik yang memiliki karakteristik yang hampir sama dengan China," ujarnya.
Indonesia, yang pada lima tahun terakhir menghadapi banyak sekali bencana, seperti Tsunami di Aceh (2004), gempa bumi di Yogyakarta (2006), bencana semburan lumpur panas di Porong Sidoarjo (2006-2009), juga melakukan sejumlah langkah demi melindungi warganya dari ancaman bencana.
"Indonesia saat ini menjadi `laboratorium` untuk mencari metode terbaik penanggulangan bencana, karena dinilai berhasil dalam penanggulangan bencana berskala besar, seperti gempa bumi dan tsunami di Nangroe Aceh Darussalam dan Nias, gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, dan gempa di Bengkulu," kata Bakri Beck.
Saat ini, Indonesia juga sedang mengembangkan metodologi penilaian kerusakan dan kerugaian akibat bencana (Damage and Losses Assesment) atau DaLA, agar penilaian besaran dampak bencana lebih akurat, rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Praktik-praktik terbaik di sejumlah negara diharapkan dapat dirumuskan kembali dan menjadi acuan bagi negara kawasan Asia Pasifik. "Kita ingin pada akhirnya kerugian akibat bencana dapat ditekan hingga titik minimum," kata Bakri Beck. (*)
Pewarta: oleh Teguh Priyanto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009