Bangkok (ANTARA News) - Pedagang suvenir di Thailand menyukai wisatawan asal Indonesia karena ramah, suka bercanda dan terpenting cukup royal membelanjakan uangnya meskipun sedikit cerewet.

"Kami suka pada wisatawan Indonesia karena ramah, suka bercanda serta royal dalam berbelanja," kata seorang pedagang pakaian yang cukup fasih berbahasa Indonesia di sekitar salah satu obyek wisata, eks-istana Thailand, di Bangkok, Sabtu.

Kalau turis dari negara lain, umumnya kaku dan berbelanja untuk kepentingan sendiri, sebaliknya orang Indonesia membeli suvenir tidak hanya untuknya dan keluarganya, namun juga untuk pembantu dan tetangganya, katanya.

Pedagang meminta dipanggil Cindy, karena bagi lidah orang Indonesia sangat sulit menyebut namanya dalam bahasa Thai.

Bahasa Thai adalah bahasa nada dan bahasa analitik. Kombinasi antara nada, ortografi yang kompleks, penanda hubungan dan fonologi yang berbeda dapat membuat bahasa Thai sulit dipelajari orang.

Meskipun ada beberapa kata sama dengan yang ada dalam bahasa Indonesia yang diperkirakan karena pengaruh Bahasa Sansekerta --seperti putra, putri, singa, dan suami-- namun tetap saja sulit melafalkan nama-nama orang di Thailand.

"Karena sering melayani orang Indonesia, saya jadi pintar Bahasa Indonesia, dan suka dengan pelancong dari Indonesia," kata Cindy dengan tata bahasa Indonesia cukup baik meskipun logat Thainya masih sangat kental.

Hal senada diakui pegawai dari pusat penjualan batu pertama dan kerajinan kulit di Gems Gallery Internasional Manufacture Co, Ltd, Phayatahai Bangkok.

Harga cukup mahal dari berbagai jenis batu pertama seperti ruby dan safir yang diikat emas putih, emas kuning atau perak tetap diburu oleh wisatawan asal Indonesia.

"Saya suka melayani wisatawan asal Indonesia karena orangnya ramah, suka bercanda serta tidak segan mengeluarkan uang. Memang ada sebagian yang cerewet karena suka menawar barang namun umumnya mereka tetap membeli," kata seorang karyawati yang mengubah namanya agar mudah dikenal wisatawan sebagai Dina.

Pengakuan beberapa pedagang dan karyawan di sejumlah pusat perbelanjaan yang banyak di kunjungi di Bangkok agaknya tidak berlebihan apabila melihat tas atau barang bawaaan orang Indonesia dari lokasi yang sekaligus dijadikan obyek wisata belanja itu.

Rata-rata wisatawan Indonesia membawa dua tas cukup besar berisikan barang-barang belanjaan yang sebagian dijadikan cinderamata.

Para supir, juga mengakui suka melayani wisatawan asal Indonesia karena memberi tips cukup besar.

"Orang Indonesia suka beri tip besar dan umumnya bisa berbahasa Inggris, apalagi jika kita melayani dengan baik, bersikap jujur dan sopan maka kita juga cukup dihargai," kata Mith, seorang sopir di Jalan Ploenchid Bangkok yang bisa berbahasa Inggris.

"Kalau wisatawan asal negara-negara Eropa memang juga memberikan tip tapi nilainya kecil, sedangkan wisatawan asal Jepang dan Korea agak sulit kita layani karena umumnya kurang paham Bahasa Inggris" tambanya.

Beberapa wisatawan asal Indonesia mengaku bahwa salah satu keunggulan sektor kepariwisataan di Thailand ketimbang Indonesia, yakni terkait faktor kenyamanan, keamananan, murah dan menarik.

"Cuma kebijakan pemerintah Indonesia yang menerapkan kebijakan pembayaran fiskal Rp 2,5 juta bagi yang tidak memiliki Nomor Peserta Wajib Pajak (NPWP) sedikit menjadi ganjalan bagi warga Indonesia dalam berpergian," ujar seorang wisatawan asal Jawa Barat di Bangkok.

Kebijakan itu, tidak saja menjadi ganjalan bagi calon pelancong, namun juga dipertanyaan Malaysia dan Thailand, mengingat sejak lama ketiga negara telah sepakat dalam kerjasama Indonesia, Malaysia, Thailand-Growth Triangle (IMT-GT).

Kebijakan yang diberlakukan pada 1 Januari 2009 itu dianggap pihak Malaysia dan Thailand menjadi salah satu faktor penghambat kunjungan wisata ke negara itu.

Mereka menganggap Indonesia tidak mendukung pengembangan sektor kepariwisataan antarnegara, padalah kerjasama IMT-GT tersebut ditandatangani oleh antar pemerintah ASEAN. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009