tidak ada bintik matahari yang teramati dalam beberapa hari
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Rhorom Priyatikanto mengatakan fenomena Matahari "lockdown" tidak berdampak signifikan dan tidak menyebabkan bencana atau potensi bahaya tinggi di bumi.
Fenomena yang disebut-sebut saat ini sebagai Matahari "lockdown" sebenarnya adalah fase minimum matahari di mana ini terjadi periodik sekitar 11 tahunan.
"Dampaknya terhadap bumi itu bisa dikatakan minim sekali tidak sampai menghasilkan pemanasan global atau sampai pendinginan global," kata peneliti astronomi dan astrofisika pada Pusat Sains Antariksa Lapan Rhorom Priyatikanto kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.
Rhorom menuturkan fase minimum matahari ini tidak berkaitan dengan aktivitas vulkanik atau menyebabkan gunung meletus.
Pada fase minimum matahari, tidak muncul bintik matahari. Saat ini, matahari berada dalam kondisi tenang.
Kenampakan bintik matahari merupakan salah satu indikator yang paling utama terkait aktivitas matahari. Jika semakin banyak bintik matahari maka aktivitas matahari semakin tinggi di mana potensi terjadi badai matahari, dan ledakan-ledakan kecil di permukaan matahari itu besar.
Baca juga: Suhu panas Jabodetabek akibat pergerakan matahari ke utara
Baca juga: WHO sebut berjemur sinar matahari tak bisa cegah COVID-19
"Sementara pada saat ini matahari itu berada dalam fase minimum artinya matahari dalam kondisi tenang hampir tidak ada bintik matahari yang teramati dalam beberapa hari,"ujar Rhorom.
Akan tetapi adakalanya matahari mengalami kondisi yang ekstrem atau luar biasa tenang. Itu pernah terjadi pada peristiwa Maunder Minimum di awal abad ke-17 dan Dalton Minimum di awal abad ke-18. Pada saat itu, selama beberapa siklus sekitar 30 tahun matahari cenderung lebih tenang dibandingkan rata-rata.
Akibatnya, temperatur global mengalami penurunan 1-2 derajat Celcius. Pada peristiwa Dalton Minimum pada 1815, kondisi saat itu diperparah dengan kejadian letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Indonesia di mana abu dari letusan gunung itu sampai mencapai atmosfer sehingga memblokade radiasi matahari ke permukaan bumi. Itu berefek pada pendinginan global yang lebih parah. Bahkan tercatat dalam sejarah tahun 1816 bahwa tidak ada musim panas di beberapa daerah di Eropa.
Peristiwa fase matahari dengan kondisi luar biasa tenang itu juga menyebabkan terjadinya gagal panen, krisis pangan dan berimbas pada resesi ekonomi saat itu.
Sedangkan pada saat ini, Rhorom menuturkan meskipun matahari berada dalam fase minimum tapi matahari bukan pada kondisi yang ekstrem tenang sekali sehingga tidak bisa memicu penurunan suhu global sehingga tidak perlu kekhawatiran akan ada bencana seperti gagal panen dan tidak ada musim panas.
"Fase minimum matahari itu kira-kira kalau dalam catatan setahun atau dua tahun itu adalah fase minimumnya," tuturnya.
Pada 2018, fase minimum matahari terjadi selama sekitar 250-an hari dengan kondisi tanpa bintik matahari. Pada 2019, fase minimum terjadi hampir 280 hari tanpa bintik matahari.
Pada saat sekarang, bintik matahari sudah mulai muncul sehingga bisa dikatakan tidak berada di titik bawah di fase minimum karena sudah mulai beranjak naik.
"2020 itu memang beberapa hari tidak ada bintik matahari tapi mulai muncul bintik matahari selang-seling jadi secara statistik dalam catatan kita sedang terus bertambah," tuturnya.
Meskipun, saat ini tidak berada di titik terbawah fase minimum matahari, akan tetapi peneliti masih menyatakan masa sekarang sebagai masa fase minimum matahari, tambahnya.
Baca juga: Heboh fenomena`halo` di Yogyakarta, ini penyebabnya
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020